Sabtu, 18 Desember 2010

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER KETIGA AJARAN ISLAM


Arti Ijtihad

         Dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad telah banyak digunakan. Hakikat ajaran Al-Qur’an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad. Dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya ± 6300, hanya ±500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang berhubungan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Ayat-ayat tersebut pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya dsb. Untuk itu, ayat-ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an dan hadis, yaitu pada mulanya Sahabat Nabi dan kemudian para ulama. Penjelasan oleh para Sahabat Nabi dan para ulama itu diberikan melalui ijtihad.[1]
         Kata ijtihad menurut bahasa berarti ‘daya upaya” atau “usaha keras”. Dengan demikian ijtihad berarti “berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu”. Dalam istilah fikih, ijtihad berarti “berusaha keras untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama : Al-Qur’an dan hadis” (Badzl al-wus’i fi nail hukm syar’i bi dalil syar’i min al-kitab wa al-sunnah). Ijtihad dalam istilah fikih inilah yang banyak dikenal dan digunakan di Indonesia.
         Dalam arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain agama. Misalnya Ibn Taimiyah yang menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang tasawuf dan lain-lain, mengatakan:”Sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan,sebagaimana mujtahid-mujtahid lain.....[2] Dan pada hakikatnya mereka (kaum sufi di Bashrah) dalam masalah ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kufah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata negara, dan lain-lain.[3] Dr. Muhammad al-Ruwaihi juga menjelaskan bahwa di masa-masa akhir ini timbul berbagai pendapat tentang Islam, baik di Barat, Timur, maupun pada orang Arab serta orang Islam sendiri. Pendapat-pendapat orang Islam itu merupakan Ijtihad, baik secara perorangan maupun kolektif, yang memperoleh pahala sesuai dengan benar atau salahnya ijtihad itu.[4]

Sejarah dan Perkembangan Ijtihad

1. Bidang Politik
           Untuk pertama kalinya ijtihad dilakukan terhadap yang pertama timbul dalam Islam : siapa pengganti nabi Muhammad sebagai khalifah atau kepala negara setelah beliau wafat? Kaum Anshar berijtihad bahwa pengganti beliau haruslah salah seorang dari mereka, dengan alasan merekalah yang menolong beliau ketika dikejar-kejar Kaum Quraisy Makkah. Sedangkan menurut ijtihad Abu Bakar, yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi adalah orang Quraisy, dengan alasan Nabi Muhammad bersabda “para pemuka/ al-aimmah adalah dari golongan Quraisy”. Selama lebih 900 tahun ijtihad Abu Bakarlah yang dipegang oleh ummat Islam, yang dikenal dengan ‘Sunni’. Adapun menurut ijtihad Ali, yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi ialah keluarga Nabi Muhammad. Ijtihad ini di kemudian hari melahirkan madzhab Syi’ah. Di dalam madzhab ini terdapat perbedaan pendapat, sehingga melahirkan Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah, dan Syi’ah 12. Dan kaum khawarij tidak menyetujui hasil ijtihad kaum Anshar, kaum Sunni, dan kaum Syi’ah. Mereka (kaum khawarij) berijtihad bahwa muslim manapun, asal memenuhi syarat-syarat yang diperlukan, dapat menjadi khalifah dan tidak ada ketentuan bahwa ia harus orang Arab, Quraisy, ataupun keturunan Nabi.
           Tidak lama setelah menjadi khalifah, Abu Bakar menghadapi satu masalah; sebagian orang Islam tidak mau membayarkan zakatnya setelah Nabi Muhammad wafat. Ia menyelesaikan masalah itu melalui ijtihad. Begitu pula Umar ibn al-Khattab. Melalui ijtihad ia menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh meluasnya daerah yang dikuasai oleh tentara Islam. Berlainan dengan ketentuan dan Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad, Umar tidak membagi-bagikan tanah itu kepada tentara yang menaklukkannya.
2. Bidang Akidah
           Pada zaman Ali ibn Abi Thalib timbul satu masalah: bagaimana kedudukan orang yang berbuat dosa besar, apakah masih mukmin atau sudah kafir? Kaum Khawarij berijtihad bahwa orang yang berbuat dosa besar itu keluar dari Islam, dan karena itu ia adalah kafir. Kaum Murji’ah berijtihad bahwa ia masih mukmin. Sedangkan menurut Kaum Mu’tazilah, ia tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi muslim.
           Dalam bidang akidah ini selanjutnya timbul masalah: apakah perbuatan manusia itu ciptaan Tuhan atau ciptaan manusia itu sendiri? Mengenai masalah ini, ijtihad kaum Muktazilah dan Maturidiah Samarkand sama: Perbuatan manusia terjadi terjadi berkat kehendak dan daya yang diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia. Hal ini bertentangan dengan ijtihad Asy’ari dan Bazdawi dari Maturidian Bukhara :perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Menurut Asy’ari, manusia hanya memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan/ al-kasb. Sedang menurut al-Bazdawi, manusia hanya melakukan perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan, dan untuk ini ia menggunakan istilah maf’ul Tuhan dan fi’il manusia.[5]
           Mengenai sifat-sifat Tuhan dalam ajaran Al-Qur’an yang menggambarkan bentuk jasmani, Asy’ari berijtihad bahwa ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Tuhan itu harus diartikan secara harfiah; kursi Tuhan harus diartika kursi pula, tetapi tidak sama dengan kursi manusia. Sedang menurut ijtihad kaum Muktazilah ayat-ayat tersebut harus diambil arti tersiratnya, bukan arti tersuratnya. Dengan demikian, kursi Tuhan berarti kekuasaan Tuhan.
           Hasil ijtihad yang berbeda-beda dalam bidang akidah ini melahirkan 5 mazhab ilmu kalam : Khawarij, Murji’ah, Muktazilah, Asy’ariyah, dan Maturudiah. Dan ajaran masing-masing mazhab ini mengikat pengikut masing-masing.
3. Bidang Filsafat
           Setelah terjadi kontak dengan filsafat Yunani, para ulama Islam mempelajari pemikiran-pemikiran para filosof Barat. Karena Al-Qur’an tidak merinci tentang penciptaan alam timbullah ijtihad di kalangan para filosof  Islam tentang penciptaan alam. Menurut al-farabi dan Ibn Sina, Tuhan menciptakan alam ini dari sesuatu yang telah ada, bukan dari ketidakadaan, melalui pancaran (al-faid) dari Tuhan. Unsur ini (pancaran) bersifat qadim karena ia diciptakan oleh Tuhan sejak qidam. Dengan demikian, alam menurut ijtihad mereka adalah qadim ditinjau dari segi unsurnya. Menciptakan sesuatu dari ketidakadaan menurut filsafat adalah mustahil. Sedangkan menurut ijtihad al-Ghazali, Tuhan itu Maha Kuasa dan dapat saja menciptakan alam ini dari ketiadaan, dan memang alam ini diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan, dan bukan melalui pancaran. Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa karena unsur itu tidak qadim, maka alam pun bukan qadim, tetapi hadis (baru). Adapun Ibn Rusyd memperkuat ijtihad golongan al-Farabi dengan mengutip dua ayat Al-Qur’an ;” dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam 6 dan tahta-Nya (pada waktu itu) berada di atas air (Hud, 11:7)________________________________________________
_________________________________________________________________________
dan ayat “Kemudian Iapun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap” (Hamim, 41:11)___________________________________________________________________
Ibn Rusyd berijtihad, kedua ayat itu menjelaskan bahwa sebelum bumi dan langit diciptakan oleh Tuhan, air dan uap itu telah ada. Dari kedua unsur inilah Tuhan menciptakan alam. Kedua ayat di atas tidak mendukung pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa alam diciptakan dari ketidakadaan, dalam arti bahwa sebelum bumi dan langit diciptakan tak ada sesuatupun selain Tuhan.

Kunci Dinamika Islam

         Ajaran Islam, selain Al-Qur’an dan hadis, yang dianut oleh pemeluknya ialah hasil ijtihad para Sahabat Nabi dan para ulama, baik ajaran dalam bidang akidah, politik, filsafat, fikih, dan lain-lain sejak timbulnya ijtihad ratusan tahun yang lalu . Dengan demikian dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran:
1)     Ajaran yang bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah, Yang berada dalam kelompok ini adalah ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis mutawatir.
2)    Ajaran yang tidak bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Yang berada dalam kelompok ini adalah ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama. Dalam ajaran Islam, yang makshum (dalam arti terpelihara dari kesalahan) hanyalah Nabi Muhammad. Karena kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif.
         Berdasarkan kenyataan ini dapat dikatakan bahwa ijtihad merupakan sumber ketiga hukum Islam. Hal ini sesuai dengan sebuah hadis :”Nabi Muhammad bertanya kepada Mu’adz ibn jabal tentang bagaimana sikapnya bila ia menghadapi suatu masalah yang penyelesaian atas masalah itu tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis, dan Ibn jabal menjawab bahwa ia akan melakukan ijtihad. Jawaban Mu’adz ibn Jabal tersebut diterima Nabi dengan lega.


 

[1] Harun Nasution, Ijtihad,Sumber Ketiga Ajaran Islam, Mizan, Bandung, 1998, hal. 108
[2] Majnu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, Kitab al-Tashawwuf, Bairut, Dar al-‘Arabiyyah, jilid II, hal 18
[3] Ibid, hal 14
[4] Dikutip dalam Harun nasution, op.cit, hal 109
[5] Baca Harun Nasution, Teologi Islam

Senin, 15 November 2010

TELADAN PENGORBANAN NABI IBRAHIM

Salah satu kebenaran pokok dalam kehidupan adalah bahwa setiap keberhasilan senantiasa menuntut semangat pengorbanan. Tanpa semangat itu, keberhasilan atau kesuksesan adalah mustahil. Begitu agung dan mulianya semangat pengorbanan itu, sehingga nilai kebalikannya pun berbanding lurus : yaitu hinanya hidup tanpa semangat pengorbanan dan solidaritas sosial. Yaitu hidup egoistis dan mementingkan diri sendiri.
Semangat berkorban yang setinggi-tingginya dan setulus-tulusnya telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as. Yaitu ketika beliau diperintahkan untuk mengorbankan putranya tercinta, Ismail. Padahal Ismail itu dianugerahkan Tuhan kepada Ibrahim ketika ia telah mencapai usia lanjut, dan telah lama sekali mendambakan keturunan. Lihat kisahnya pada surat al-Shaffat, 37 : 102-111. begitulah rekaman dalam kitab Allah tentang kisah dua insan, ayah dan anak yang sangat mengharukan; tentang dua hamba-Nya yang keduanya rasulullah yang kelak menjadi tauladan bagi ummat manusia tentang bagaimana menaati perintah Tuhan.
Membaca kisah yang menyentuh hati itu, tentu timbul pertanyaan dalam diri kita : Mengapa Nabi Ibrahim tega atau sampai hati bertindak mengorbankan seorang bocah, putranya sendiri yang telah lama didambakan, dan hanya diperoleh setelah berusia cukup lanjut. Mengapa pula Ismail dengan penuh pasrah kepada Allah menyerahkan dirinya kepada ayahnya untuk dikorbankan. Tidak lain karena Ibrahim dan Ismail menyadari bahwa hidup ini tidak mempunyai arti apa-apa kecuali jika mempunyai makna dan tujuan. Karena mereka percaya bahwa di dalam semangat berkorban itulah makna dan tujuan hidup itu mereka temukan. Serta menginsafi bahwa makna dan tujuan hidup yang benar ada dalam ridla Allah. Ridla Allah itu juga yang menjadi tujuan hidup kita. Sebab dalam ridla Allah atau perkenan Tuhan itulah kita akan merasakan kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang kekal abadi.
Ibrahim dan Ismail menuju Tuhan, dan mereka temukan Tuhan dalam perintah-Nya untuk berkorban. Mereka mencari ridla dan perkenan itu dalam semangat berkorban. Sebab sekalipun tidak terjadi Ibrahim mengorbankan Ismail (karena telah diganti dengan binatang sembelihan yang besar) tapi baik Ibrahim yang melaksanakan korban dan Ismail yang menjadi korban telah memperlihatkan dengan sebaik-baiknya bahwa mereka memiliki semangat berkorban yang tinggi.

HAKIKAT KORBAN
Qurban artinya pendekatan, yaitu pendekatan kepada Tuhan. Maka melakukan qurban adalah melakukan sesuatu yang mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Yakni mendekatkan diri kita kepada tujuan hidup kita. Sebab memang kita berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu dalam praktek, dalam bentuknya yang konkrit, tindakan berkorban adalah tindakan yang disertai pandangan jauh ke depan, yang menunjukkan bahwa kita tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat, kesenangan sementara, kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selama-lamanya.
Maka Ibrahim tidak mau tertipu oleh kesenangan mempunyai seorang anak kesayangan, yaitu Ismail, dan beliau tidak ingin lupa akan tujuan hidupnya yang hakiki, yaitu Allah SWT. Maka Ibrahim pun bersedia mengorbankan anaknya, lambang kesenangan dan kebahagiaan sesaat dan sementara itu, yaitu kesenangan duniawi. Sebab Ibrahim tahu dan yakin akan adanya kebahagiaan abadi dalam ridla dan perkenan Allah. Ismail pun tidak mau terkecoh oleh bayangan hendak hidup senang di dunia ini, tapi kemudian melupakan hidup yang lebih abadi di akherat kelak. Maka ia pun bersedia mengakhiri hidupnya yang toh tidak akan terlalu panjang itu, dan pasrah kepada Allah, dikorbankan oleh ayahnya.
Oleh karena itu, makna berkorban ialah bahwa dalam hidup kita melihat jauh ke masa depan dan tidak boleh terkecoh oleh masa kini yang sedang kita alami. Bahwa kita tabah dan sabar menanggung segala beban yang berat dalam hidup kita saat sekarang. Sebab kita tahu dan yakin bahwa di belakang hari kita akan memperoleh hasil dari usaha, perjuangan, dan jerih payah kita.
Makna berkorban ialah bahwa kita sanggup menunda kenikmatan kecil dan sesaat, demi mencapai kebahagiaan yang lebih besar dan kekal. Kita bersedia bersusah payah, karena hanya dengan susah payah dan mujahadah itu, suatu tujuan tercapai, dan cita-cita terlaksana. Al-Qur'an surat al-Syarh, 94 : 5-6 menyatakan bahwa "sesungguhnya beserta setiap kesulitan itu akan ada kemudahan, sekali lagi sesungguhnya beserta setiap kesulitan itu akan ada kemudahan." Maka bila engkau telah bebas dari suatu beban, tetaplah engkau bekerja keras, dan berusahalah mendekat terus kepada Tuhanmu".
Semangat berkorban adalah konsekuensi taqwa kepada Allah. Sebab taqwa itu jika dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan, akan membuat kita mampu melihat jauh ke depan, mampu menginsafi akibat-akibat perbuatan saat ini di kemudian hari, kemudian menyongsong masa mendatang dengan penuh harapan. Cobalah kita renungkan firman Allah dalam Kitab suci Al-Qur'an mengenai hal ini, al-Hasyr, 59 : 18, "wahai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang ia perbuat untuk hari esok. Bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan."
Firman ini mengandung perintah untuk bertaqwa. Dan dalam perintah taqwa itu sekaligus diingatkan agar kita membiasakan diri menyiapkan masa depan. Maka kuranglah taqwa seseorang jika ia kurang mampu melihat masa depan hidupnya yang jauh, jika ia hidup hanya untuk disini dan kini, di tempat ini dan sekarang ini. Atau dalam ukurannya yang besar, di dunia ini dan dalam hidup ini saja. Tetapi justru inilah yang sulit kita sadari. Sebab manusia mempunyai kelemahan pokok yaitu kelemahan berpandangan pendek, tidak jauh ke depan. Qur'an surat al-Insan, 76 : 27 menegaskan bahwa "sesungguhnya mereka (manusia) itu mencintai hal-hal yang segera, dan melalaikan di belakang mereka masa yang berat."
Maka manusia pun tidak tahan menderita dan menerima cobaan. Tidak tahan memikul beban, dan selanjutnya tidak tahan melakukan jerih payah sementara, karena mengira bahwa jerih payah itu kesengsaraan, dan menyangka bahwa kerja keras itu kesusahan, padahal justru dibalik jerih payahnya itu akan terdapat manis dan nikmatnya keberhasilan dan kesuksesan. Justru di belakang pengorbanan itulah akan terasa nikmatnya hidup karunia Tuhan yang amat berharga ini.

SIKAP OPTIMIS KEPADA TUHAN
Apa sebenarnya yang membuat orang enggan berkorban dan berjerih payah, serta tidak bersedia menempuh kesulitan sementara, menunda kesenangan sesaat. Memang biasanya orang ingin hidup egois, hidup untuk diri sendiri dan kesenangan sendiri. Akibatnya ketika ia menerima kesulitan, kesusahan, cobaan dan persoalan, ia mengira bahwa hanya ia sendirilah yang sedang dirundung kemalangan itu. Lalu ia pun mengeluh dalam hati, memprotes dalam batin, mangapa ia dibuat sengsara. Padahal tidaklah demikian keadaan dan hakikat hidup yang sebenarnya. Kesulitan adalah bagian dari hidup. Justru jika diterima dengan sabar dan tabah, kesulitan adalah bumbu hidup. Dan dikala kita sedang menderita dan kurang mujur, kita harus tahu serta sadar, bahwa sebenarnya bukan hanya kita saja yang mengalami kesulitan dan penderitaan. Tentang ini Allah memperingatkan kita dalam surat al-Nisa', 4 : 104 sebagai berikut; jika kamu merasakan penderitaan, maka sesungguhnya mereka (oran-orang lain) pun menderita seperti kamu, namun kamu mengharap dari Allah sesuatu yang mereka (orang-orang lain itu) tidak mengharap.
Jadi memang kita dan mereka (kita orang yang percaya kepada Tuhan, yang beriman; dan mereka yang tidak percaya, yang kafir) adalah sama-sama menderita. Tetapi justru dalam penderitaan itu kita berbeda dengan mereka. Sebab dalam penderitaan itu kita tetap berpengharapan dan optimis kepada Allah, justru kita harus menerima penderitaan itu dan sabar menanggungnya. Kemudian dijadikan cambuk, modal untuk berjuang, berusaha sungguh-sungguh dan bermujahadah dengan menanamkan semangat berkorban.
Semangat berkorban itulah yang akan melepaskan kita dari kungkungan penderitaan. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan atau membiarkan kita sendirian. Sebab di balik setiap penderitaan itu, seperti janji Allah sendiri, terdapat kenikmatan dan kebahagiaan. Tidak ada seruas dari perjalanan hidup kita yang berlalu dengan percuma. Kita hendaknya selalu mengingat gugatan Allah dalam Qur'an surat Ali Imran, 3 : 142 yang menegaskan "Apakah kamu menyangka kamu bakal masuk surga, padahal belum disaksikan oleh Allah siapa diantara kamu yang berjuang, bersusah payah, menempuh kesulitan, dan (belum disaksikan pula) siapa yang sabar, tabah, dan tahan menderita.
Berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras adalah hakikat hidup yang bermakna. Sementara itu pengorbanan adalah tuntutan perjuangan yang tak terelakkan. Keduanya harus diiringi dengan sikap yang lapang dada, sabar, dan tahan menderita. Hanya pandangan hidup serupa itulah yang akan memberi kenikmatan hakiki dan kebahagiaan sejati.
Itulah semangat pengorbanan Ibrahim yang pasrah hendak mengorbankan anaknya, Ismail. Dan itulah pula semangat Ismail, yang pasrah menyerahkan dirinya untuk dikorbankan. Keduanya menjadi contoh bagi kita semua tentang bagaimana ketulusan berkorban serta melawan godaan hidup sesaat, karena hendak mencapai  hidup bahagia abadi. Itulah ruh yang terkandung dalam ajaran berkurban. Dengan semangat pengorbanan yang tinggi kita mendekatkan diri kepada Allah, dan dengan ridla-Nya kita akan mendapatkan kebahagiaan sejati dan abadi.
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail memberikan teladan kepada kita tentang perjuangan yang gigih dalam kehidupan dan secara tegar melawan kekuatan dan godaan syetan. Dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 155 digambarkan hidup itu penuh ujian yang harus dihadapi secara sabar (gigih dan perjuangan terus-menerus yang tak kenal lelah).
و لنبلو نكم بشئ من الخوف والجوع و نقص من           الانفس و الثمرات و بشر الصا برين
Ayat ini menegaskan bahwa Allah pasti akan terus-menerus menguji kita. Ini mengisyaratkan bahwa hakikat hidup di dunia, antara lain ditandai oleh keniscayaan adanya cobaan/ ujian yang beraneka ragam. Ujian atau cobaan yang dihadapi itu pada hakikatnya sedikit, sehingga betapapun besarnya, ia sedikit jika dibandingkan dengan imbalan atau ganjaran yang akan diterima. Cobaan itu sedikit, karena betapapun besarnya cobaan, ia dapat terjadi dalam bentuk yang lebih besar daripada yang telah terjadi. Ia sedikit, karena cobaan dan ujian yang lebih besar adalah kegagalan menghadapi cobaan khususnya dalam kehidupan beragama.
Ujian yang diberikan Allah kadarnya sedikit bila dibandingkan dengan potensi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Ia hanya sedikit sehingga setiap yang diuji akan mampu memikulnya jika ia menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah itu. Bentuk ujian Allah antara lain, sedikit rasa takut, yakni keresahan hati menyangkut sesuatu yang buruk, atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang diduga akan terjadi. Sedikit rasa lapar, yaitu keinginan meluap untuk makan karena perut kosong, tetapi tidak menemukan makanan yang dibutuhkan; serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.
Informasi Allah tentang "soal-soal ujian" ini adalah nikmat besar tersendiri, karena dengan mengetahuinya kita dapat mempersiapkan diri menghadapi aneka ujian itu. Ujian diperlukan untuk kenaikan tingkat. Ujian sendiri itu baik, dan yang buruk adalah kegagalan menghadapinya. Takut menghadapi ujian adalah pintu gerbang kegagalan. Menghadapi sesuatu yang ditakuti adalah membentengi diri dari gangguannya. Biarkan ia datang kapan saja, tetapi ketika itu kita telah siap menjawab atau menghadapinya.
Manusia harus berjuang, karena hidup adalah pergulatan antara kebenaran dan kebathilan, pertarungan antara kebaikan dan keburukan. Manusia dalam hidupnya pasti menghadapi setan dan pengikut- pengikutnya. Allah memerintahkan untuk berjuang menghadapi mereka. Tentu saja dalam pergulatan dan pertarungan pasti ada korban, pihak yang benar atau yang salah. Aneka macam korban itu, bisa harta, jiwa, dan buah-buahan, baik buah-buahan dalam arti sebenarnya maupun buah-buahan dalam arti buah apa saja yang dicita-citakan. Tetapi korban itu sedikit, bahkan itulah yang menjadi bahan bakar memperlancar jalannya kehidupan, serta mempercepat pencapaian tujuan.
Semua hal yang terjadi sesuai dengan kehendak Allah, dan kehendak-Nya tercermin pada hukum-hukum alam dan kemasyarakatan yang ditetapkan-Nya yang berlaku untuk semua pihak. Bila seseorang tidak menyesuaikan diri dengan kehendak-Nya yang tercermin pada hukum-hukum alam itu, dia pasti mengalami kesulitan. Dia akan mengalami bencana, baik pada dirinya maupun pada lingkungannya. Allah telah menganugerahkan kepada manusia potensi untuk mengetahui manfaat dan madlarat banyak hal sehingga mereka dapat mengetahuinya, baik melalui penggunaan nalar, pengalaman, intuisi, dan atau penjelasan wahyu. Dia juga mengajarkan manusia tata cara meraih dan menolak manfaat dan madlarat itu.
Marilah momentum 'Idul Adha ini kita jadikan titik tolak untuk meraih berbagai anugerah Allah dan menolak bencana yang mungkin menimpa sesuai dengan sunnatullah dan takdir-Nya.

Sabtu, 06 November 2010

MUSIBAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN


Al-Qur’an surat al-Baqarah, 2:155 menyatakan :”Sungguh, Kami pasti akan terus menerus menguji kamu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar”.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa hakikat hidup di dunia, antara lain ditandai oleh keniscayaan adanya cobaan yang beraneka ragam. Ujian yang diberikan Allah kadarnya sedikit bila dibandingkan dengan potensi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Ia hanya sedikit, sehingga setiap yang diuji akan mampu memikulnya jika ia menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah itu.

Ujian yang akan terjadi yang diinformasikan Allah itu adalah nikmat besar tersendiri, karena dengan mengetahuinya manusia dapat mempersiapkan diri menghadapi aneka ujian itu. Yang buruk adalah kegagalan menghadapi ujian. Allah tidak menjelaskan kapan dan dalam situasi apa ia akan terjadi.
Bentuk ujian itu adalah sedikit dari rasa takut, yakni keresahan hati menyangkut sesuatu yang buruk, atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang diduga akan terjadi. Sedikit rasa lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Buah-buahan bisa dalam arti sebenarnya maupun buah-buahan dalam arti buah dari apa yang dicita-citakan. Muhammad Rasyid Rida menambahkan bahwa semata-mata menamakan diri beriman tidak berimplikasi secara langsung kepada keluasan rizki, hilangnya rasa takut dan kesedihan, serta kekuasaan yang kokoh. Semua itu berlangsung sesuai dengan sunnatullah dalam penciptaan, sebagaimana halnya sunnah dalam penciptaan adalah terjadinya musibah berdasarkan sebab-sebab yang mengantar terjadinya secara signifikan.

Dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 156-157 Allah menegaskan bahwa “Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kami akan kembali kepadaNya’. Mereka itulah yang mendapat banyak keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Maksud perkataan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” ketika ditimpa musibah bukan sekedar pernyataan yang dihafal dan dilafalkan tanpa penghayatan makna, tetapi maksudnya adalah penghayatan atas makna-maknanya, antara lain mereka termasuk makhluk Allah, milik Allah, dan kepadaNya kembali. Di tangan Allah kekuasaan atas segala sesuatu, dan Ia tidak berbuat kecuali sesuai dengan ilmu dan hikmah, dan sesuai dengan aturan yang digariskan, yang dikenal dengan sunnah atau sunnatullah. Kehendak Allah pada dasarnya tercermin pada hukum-hukum alam yang diciptakanNya. Bila seseorang tidak menyesuaikan diri dengan kehendakNya yang tercermin dalam hukum-hukum alam itu, dia pasti mengalami kesulitan, dia pasti mengalami bencana baik pada dirinya maupun lingkungannya. Bencana adalah kehendakNya juga karena Dia yang menciptakan hukum-hukumnya.

Yang mengucapkan kalimat “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” dengan menghayati makna-maknanya akan mendapat keberkatan yang sempurna, banyak dan beraneka ragam, seperti pengampunan, pujian, dan ganti yang lebih baik. Juga dapat rahmat dan petunjuk, yaitu petunjuk mengatasi kesulitan dan kesedihannya, dan petunjuk menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Dalam Al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 78-79 Allah berfirman :”Dimana saja kamu berada kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka kebaikan mereka mengatakan, ‘ini dari sisi Allah’, dan kalau mereka ditimpa suatu bencana, mereka mengatakan ‘ini dari engkau (Muhammad). Katakanlah ‘semuanya dari sisi Allah’, maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan, apa saja nikmat yang engkau peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”.

Penegasan Allah dalam ayat diatas bahwa semuanya (baik dan buruk) dari sisiNya dipahami dalam arti sesuai dengan ketentuan sunnatullah dan takdirNya, yakni hukum-hukum alam dan kemasyarakatan yang ditetapkannya berlaku untuk semua pihak, dan semua baik, tidak ada satu sisipun yang buruk. Kalau ada yang menilainya buruk, maka itu hanya bagi perorangan atau kelompok dan bersifat sementara, tetapi jika dilihat secara menyeluruh, maka ia baik.

Penyakit yang diderita seseorang adalah buruk menurut penilaian yang bersangkutan atau orang-orang tertentu, tetapi baik buat banyak orang, karena dengan demikian orang akan mengetahui nilai kesehatan. Bahkan sakit itu juga dapat menjadi baik bagi si sakit, karena dengan demikian ia mendapat pelajaran agar menghindari sebabnya, atau karena dengan penyakit itu- jika ia bersabar- ia memperoleh ganjaran atau pengampunan dosa. Demikian semua sunnatullah dan hukum-hukum yang ditetapkan Allah, walaupun buruk bagi seseorang atau satu kelompok, tetapi ia baik untuk banyak pihak, sehingga semua yang datang dari Allah adalah baik.

Setiap peristiwa yang terjadi melibatkan tiga unsur berikut:
1.ada yang menjadikannya
2.ada juga sebab-sebab yang mengantar kejadiannya
3.ada tanda-tanda dan dampak-dampaknya
Tiga hal itu tidak mungkin luput dari suatu peristiwa, disengaja atau tidak, terpaksa atau atas kehendak seseorang. Allah yang menentukan manfaat dan madlarat satu peristiwa berdasar pengetahuan dan takdir/pengaturanNya, serta Dia pula yang menciptakan sebab-sebabnya. Selanjutnya segala sesuatu diciptakan Allah dan diciptakanNya pula sebab-sebab yang memudahkan kelangsungan hidup dan pemanfaatannya. Allah juga telah menganugerahi manusia potensi untuk mengetahui manfaat dan madlarat banyak hal sehingga mereka dapat mengetahuinya, baik melalui penggunaan nalar, pengalaman, intuisi, dan atau penjelasan wahyu.

Kejahatan itu walaupun Allah juga yang menjadikannya serta menjadikan dan menetapkan sebab-sebabnya, tetapi peranan manusia dalam hal ini tidak kecil. Karena pada umumnya kejahatan itu menimpa manusia akibat ulahnya sendiri karena kebodohan, pandangan pendek, dan pengaruh hawa nafsunya. Sehingga pada umumnya kejahatan yang menimpa manusia adalah akibat perbuatannya sendiri, baik langsung maupun tidak.

Hukum-hukum alam dan kemasyarakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan buruk untuk setiap gerak dan tindakan telah ditetapkan Allah. Melalui hukum-hukum tersebut manusia diberi kemampuan memilih dan memilah, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan laranganNya menghendaki bahkan menganjurkan agar manusia meraih kebaikan dan nikmatNya. Karena itu ditegaskanNya bahwa “apa saja nikmat yang engkau peroleh wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah yakni Dia yang mewujudkan anugerahNya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selainmu, maka bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri”. Penegasan ini berbicara dari sisi manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat, dimana ia diberi kemampuan memilah dan memilih dan masing-masing mendapatkan hasil pilihannya sesuai sunnatullah dan takdirNya.




Rujukan
 
1.Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar. Juz IV, hal.192; 225-6; juz V hal.268.
2.Muhammad Husain Thabathaba’i. Tafsir al-Mizan, juz V, hal.14; juz XVII, hal.59; juz XIX
   hal. 173-4.
3.Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah. Juz I hal. 341-344; juz II hal. 493-497.

Minggu, 10 Oktober 2010

PERAN DAN TANGGUNGJAWAB ULAMA, ZU’AMA DAN CENDEKIA DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT BERKEADILAN DAN SEJAHTERA

I.         PENGERTIAN ULAMA
Kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘alim, yang terambil dari akar kata ‘alima yang berarti mengetahui secara jelas. Kata ulama ditemukan dua kali dalam Al-Qur’an. Pertama, dalam Al-Qur’an surat al-Syu’ara’, 26:197 “Apakah tidak cukup menjadi bukti lagi bagi mereka (yang meragukan Al-Qur’an) bahwa para ulama bani Israil mengetahuinya (Al-Qur’an)?”. Ayat ini didahului oleh firman-Nya surat al-Syu’ara’, 26:192-195 “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar diturunkan Tuhan Pemelihara semesta alam. Ia dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”
Berdasarkan konteks ayat surat al-Syu’ara’, 26:192-197, maka ayat 197 di atas diterjemahkan sebagaimana terbaca di atas. Dan atas dasar itu pula, kita dapat berkata bahwa kata “ulama” digunakan oleh Al-Qur’an bukan hanya terhadap orang-orang muslim, tetapi disandangkan juga kepada siapa pun yang memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an.[1]
Kata ulama yang kedua ditemukan dalam surat Fathir, 35:28 “Sesungguhnya yang takut (bercampur kagum) kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. Ayat tersebut didahului oleh ajakan Al-Qur’an untuk memperhatikan bagaimana Allah menurunkan air dari langit, kemudian melalui hujan yang menyirami bumi itu, Allah menumbuhkan buah-buahan yang beraneka ragam. Demikian juga gunung-gunung, ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada pula yang hitam pekat (Q.S. al-Syu’ara,27). Demikian pula manusia, binatang-binatang melata, dan binatang ternak bermacam-macam warna dan jenisnya (Q.S. al-Syu’ara,28).
Ada dua catatan penting yang perlu digarisbawahi dari ayat di atas, yaitu : (1) penekanan ayat pada keanekaragaman serta perbedaan-perbedaan yang terhampar di bumi. Penekanan ini diingatkan oleh Allah sehubungan dengan keanekaragaman tanggapan manusia terhadap para nabi dan kitab-kitab suci yang diturunkan Allah. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya pada ayat 25 surat Fathir. Ini mengandung arti bahwa keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya.[2] (2) Mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan sosial, dinamai oleh Al-Qur’an dengan ulama. Hanya saja, seperti pernyataannya di atas, pengetahuan tersebut menghasilkan rasa khassyah, yaitu rasa takut yang disertai penghormatan, yang lahir akibat pengetahuan tentang objek. Pernyataan Al-Qur’an bahwa yang memiliki sifat tersebut hanyalah ulama, mengandung arti bahwa yang tidak memilikinya bukanlah ulama.
Ayat di atas berbicara tentang fenomena alam dan sosial. Ini berarti bahwa para ilmuwan sosial dan alam dituntut agar mewarnai ilmu mereka dengan nilai spiritual, dan agar dalam penerapannya selalu mengindahkan nilai-nilai tersebut. Bahkan tidak meleset jika dikatakan bahwa ayat ini berbicara tentang kesatuan apa yang dinamai dengan ilmu agama dan ilmu umum. Sebab puncak ilmu agama adalah pengetahuan tentang Allah, sedangkan ilmuwan sosial dan alam memiliki rasa takut dan kagum kepada Allah yang lahir dari pengetahuan mereka tentang fenomena alam dan sosial serta pengetahuan mereka tentang Allah.
Dari gabungan ayat 197 surat al-Syu’ara’ dan ayat 28 surat Fathir yang menggunakan kata ulama di atas, dapat dirumuskan bahwa siapapun yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang fenomena alam dan sosial, dan atau kandungan kitab suci, asal memiliki khassyah (rasa takut dan kagum kepada Allah), dia layak dimasukkan dalam kelompok yang dinamai Al-Qur’an dengan ulama.

II.      PERAN DAN TANGGUNGJAWAB ULAMA
Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa “para ulama adalah ahli waris para nabi”. Dalam konteks ini, QS. Fathir 35:32 menegaskan bahwa “Kemudian Kami wariskan kitab suci kepada orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba Kami; Maka ada diantara mereka yang menganiaya diri mereka sendiri, dan ada yang pertengahan, dan ada juga yang bergegas melakukan kebajikan”.
Kitab suci yang diwarisi oleh ulama ummat Muhammad berbicara tentang berbagai persoalan yang mencakup materi bahasan berbagai disiplin ilmu agama. Oleh karena itu, disitu bertemu cakupan makna kata “ulama” seperti yang dikemukakan di atas dengan cakupan kandungan kitab suci Al-Qur’an. Secara garis besar ada empat (4) tugas yang harus dilaksanakan oleh para ulama dalam kedudukan mereka sebagai ahli waris para nabi, yaitu:
1.      Menyampaikan ajaran kitab suci (tabligh), karena Rasulullah diperintahkan dalam QS. al-Maidah, 5:67 “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak engkau lakukan, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya”. Ini menuntut dari  ahli waris Nabi saw. untuk menyampaikan ajaran secara baik dan bijaksana, tidak merasa takut atau rikuh, tetapi selalu siap menanggung resiko.
2.      Menjelaskan kandungan kitab suci, sejalan dengan firman-Nya dalam QS. al-Nahl, 16:44 “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka”. Ini menuntut para ulama untuk terus menerus mengajarkan kandungan kitab suci, sekaligus terus-menerus mempelajarinya (QS. Fathir, 35:29), atau dalam istilah Al-Qur’an menjadi rabbaniyyin (QS. ‘Ali Imran, 3:79)
3.      Memberi putusan dan solusi terhadap problem dan perselisihan masyarakat, sejalan dengan firman-Nya QS. al-Baqarah, 2 :213 “Dan Dia (Allah) menurunkan kepada mereka (para nabi) kitab suci dengan haq agar mereka memutuskan antara manusia apa yang mereka perselisihkan”. Solusi yang diberikan tidak boleh mengawang-awang di angkasa, dalam arti hanya indah terdengar, tetapi harus membumi, dalam arti dapat dipahami dan diterapkan.
4.      Memberi contoh sosialisasi dan keteladanan, itu sebabnya Nabi dijadikan Allah sebagai teladan, sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-Ahzab, 33:21 “Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”. Akan tetapi, tidak semua yang mewarisi kitab suci atau dianugerahi ayat-ayat Allah, mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, sebagaimana diisyaratkan oleh QS. Fathir, 35:32.

III.   KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” keadilan sosial didefinisikan sebagai “kerjasama untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh berkembang sesuai kemampuan masing-masing”. Keadilan sosial seperti terlihat dari definisi itu, bukan berarti mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi.
Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan kemampuan para rasul pun demikian (QS. al-Baqarah, 2:253). Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya perbedaan itu harus mengantarkan kepada kerjasama yang menguntungkan semua pihak (QS. al-Hujurat, 49:13). Setiap anggota masyarakat dituntut untuk berlomba-lomba dalam kebajikan / fastabiqul khairat (QS. al-Baqarah, 2:148). Setiap perlombaan menjanjikan hadiah. Disini hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi tidak adil juga bila setelah lomba dengan prestasi yang berbeda-beda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama menolak hal itu (QS. al-Nisa’, 4:95)
Jika diantara anggota masyarakat ada yang tidak dapat meraih prestasi atau memenuhi kebutuhan pokonya, masyarakat yang berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar mereka pun mampu dan dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan semacam inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial (M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1996, hal.126)
Kesejahteraan sosial yang didambakan oleh Al-Qur’an tercermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, Hawa, sebelum mereka turun ke bumi. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang sejahtera. Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam QS. Thaha, 20:117-119 “Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan disini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa dahaga maupun kepanasan”. Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan, semuanya telah terpenuhi disana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial.
Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga hidup dalam damai, harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada suatu pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia (QS. al-Waqi’ah, 56:25-26).
Rumusan kesejahteraan dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman. Untuk masa kini, dapat dikatakan bahwa yang sejahtera adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak keluarga, bahkan lingkungan. (Quraish Shihab, Wawasan, hal.128)


[1] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, Bandung, Mizan, 2000, hal.36
[2] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, hal.37