Minggu, 10 Oktober 2010

PERAN DAN TANGGUNGJAWAB ULAMA, ZU’AMA DAN CENDEKIA DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT BERKEADILAN DAN SEJAHTERA

I.         PENGERTIAN ULAMA
Kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘alim, yang terambil dari akar kata ‘alima yang berarti mengetahui secara jelas. Kata ulama ditemukan dua kali dalam Al-Qur’an. Pertama, dalam Al-Qur’an surat al-Syu’ara’, 26:197 “Apakah tidak cukup menjadi bukti lagi bagi mereka (yang meragukan Al-Qur’an) bahwa para ulama bani Israil mengetahuinya (Al-Qur’an)?”. Ayat ini didahului oleh firman-Nya surat al-Syu’ara’, 26:192-195 “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar diturunkan Tuhan Pemelihara semesta alam. Ia dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”
Berdasarkan konteks ayat surat al-Syu’ara’, 26:192-197, maka ayat 197 di atas diterjemahkan sebagaimana terbaca di atas. Dan atas dasar itu pula, kita dapat berkata bahwa kata “ulama” digunakan oleh Al-Qur’an bukan hanya terhadap orang-orang muslim, tetapi disandangkan juga kepada siapa pun yang memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an.[1]
Kata ulama yang kedua ditemukan dalam surat Fathir, 35:28 “Sesungguhnya yang takut (bercampur kagum) kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. Ayat tersebut didahului oleh ajakan Al-Qur’an untuk memperhatikan bagaimana Allah menurunkan air dari langit, kemudian melalui hujan yang menyirami bumi itu, Allah menumbuhkan buah-buahan yang beraneka ragam. Demikian juga gunung-gunung, ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada pula yang hitam pekat (Q.S. al-Syu’ara,27). Demikian pula manusia, binatang-binatang melata, dan binatang ternak bermacam-macam warna dan jenisnya (Q.S. al-Syu’ara,28).
Ada dua catatan penting yang perlu digarisbawahi dari ayat di atas, yaitu : (1) penekanan ayat pada keanekaragaman serta perbedaan-perbedaan yang terhampar di bumi. Penekanan ini diingatkan oleh Allah sehubungan dengan keanekaragaman tanggapan manusia terhadap para nabi dan kitab-kitab suci yang diturunkan Allah. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya pada ayat 25 surat Fathir. Ini mengandung arti bahwa keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya.[2] (2) Mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan sosial, dinamai oleh Al-Qur’an dengan ulama. Hanya saja, seperti pernyataannya di atas, pengetahuan tersebut menghasilkan rasa khassyah, yaitu rasa takut yang disertai penghormatan, yang lahir akibat pengetahuan tentang objek. Pernyataan Al-Qur’an bahwa yang memiliki sifat tersebut hanyalah ulama, mengandung arti bahwa yang tidak memilikinya bukanlah ulama.
Ayat di atas berbicara tentang fenomena alam dan sosial. Ini berarti bahwa para ilmuwan sosial dan alam dituntut agar mewarnai ilmu mereka dengan nilai spiritual, dan agar dalam penerapannya selalu mengindahkan nilai-nilai tersebut. Bahkan tidak meleset jika dikatakan bahwa ayat ini berbicara tentang kesatuan apa yang dinamai dengan ilmu agama dan ilmu umum. Sebab puncak ilmu agama adalah pengetahuan tentang Allah, sedangkan ilmuwan sosial dan alam memiliki rasa takut dan kagum kepada Allah yang lahir dari pengetahuan mereka tentang fenomena alam dan sosial serta pengetahuan mereka tentang Allah.
Dari gabungan ayat 197 surat al-Syu’ara’ dan ayat 28 surat Fathir yang menggunakan kata ulama di atas, dapat dirumuskan bahwa siapapun yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang fenomena alam dan sosial, dan atau kandungan kitab suci, asal memiliki khassyah (rasa takut dan kagum kepada Allah), dia layak dimasukkan dalam kelompok yang dinamai Al-Qur’an dengan ulama.

II.      PERAN DAN TANGGUNGJAWAB ULAMA
Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa “para ulama adalah ahli waris para nabi”. Dalam konteks ini, QS. Fathir 35:32 menegaskan bahwa “Kemudian Kami wariskan kitab suci kepada orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba Kami; Maka ada diantara mereka yang menganiaya diri mereka sendiri, dan ada yang pertengahan, dan ada juga yang bergegas melakukan kebajikan”.
Kitab suci yang diwarisi oleh ulama ummat Muhammad berbicara tentang berbagai persoalan yang mencakup materi bahasan berbagai disiplin ilmu agama. Oleh karena itu, disitu bertemu cakupan makna kata “ulama” seperti yang dikemukakan di atas dengan cakupan kandungan kitab suci Al-Qur’an. Secara garis besar ada empat (4) tugas yang harus dilaksanakan oleh para ulama dalam kedudukan mereka sebagai ahli waris para nabi, yaitu:
1.      Menyampaikan ajaran kitab suci (tabligh), karena Rasulullah diperintahkan dalam QS. al-Maidah, 5:67 “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak engkau lakukan, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya”. Ini menuntut dari  ahli waris Nabi saw. untuk menyampaikan ajaran secara baik dan bijaksana, tidak merasa takut atau rikuh, tetapi selalu siap menanggung resiko.
2.      Menjelaskan kandungan kitab suci, sejalan dengan firman-Nya dalam QS. al-Nahl, 16:44 “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka”. Ini menuntut para ulama untuk terus menerus mengajarkan kandungan kitab suci, sekaligus terus-menerus mempelajarinya (QS. Fathir, 35:29), atau dalam istilah Al-Qur’an menjadi rabbaniyyin (QS. ‘Ali Imran, 3:79)
3.      Memberi putusan dan solusi terhadap problem dan perselisihan masyarakat, sejalan dengan firman-Nya QS. al-Baqarah, 2 :213 “Dan Dia (Allah) menurunkan kepada mereka (para nabi) kitab suci dengan haq agar mereka memutuskan antara manusia apa yang mereka perselisihkan”. Solusi yang diberikan tidak boleh mengawang-awang di angkasa, dalam arti hanya indah terdengar, tetapi harus membumi, dalam arti dapat dipahami dan diterapkan.
4.      Memberi contoh sosialisasi dan keteladanan, itu sebabnya Nabi dijadikan Allah sebagai teladan, sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-Ahzab, 33:21 “Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”. Akan tetapi, tidak semua yang mewarisi kitab suci atau dianugerahi ayat-ayat Allah, mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, sebagaimana diisyaratkan oleh QS. Fathir, 35:32.

III.   KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” keadilan sosial didefinisikan sebagai “kerjasama untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh berkembang sesuai kemampuan masing-masing”. Keadilan sosial seperti terlihat dari definisi itu, bukan berarti mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi.
Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan kemampuan para rasul pun demikian (QS. al-Baqarah, 2:253). Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya perbedaan itu harus mengantarkan kepada kerjasama yang menguntungkan semua pihak (QS. al-Hujurat, 49:13). Setiap anggota masyarakat dituntut untuk berlomba-lomba dalam kebajikan / fastabiqul khairat (QS. al-Baqarah, 2:148). Setiap perlombaan menjanjikan hadiah. Disini hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi tidak adil juga bila setelah lomba dengan prestasi yang berbeda-beda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama menolak hal itu (QS. al-Nisa’, 4:95)
Jika diantara anggota masyarakat ada yang tidak dapat meraih prestasi atau memenuhi kebutuhan pokonya, masyarakat yang berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar mereka pun mampu dan dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan semacam inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial (M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1996, hal.126)
Kesejahteraan sosial yang didambakan oleh Al-Qur’an tercermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, Hawa, sebelum mereka turun ke bumi. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang sejahtera. Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam QS. Thaha, 20:117-119 “Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan disini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa dahaga maupun kepanasan”. Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan, semuanya telah terpenuhi disana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial.
Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga hidup dalam damai, harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada suatu pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia (QS. al-Waqi’ah, 56:25-26).
Rumusan kesejahteraan dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman. Untuk masa kini, dapat dikatakan bahwa yang sejahtera adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak keluarga, bahkan lingkungan. (Quraish Shihab, Wawasan, hal.128)


[1] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, Bandung, Mizan, 2000, hal.36
[2] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, hal.37

Jumat, 08 Oktober 2010

PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN DAN HADITS

I.         PENDAHULUAN
Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagaman manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak lagi hanya dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu –meskipun fenomena ini sampai kapanpun adalah ciri khas daripada agama-agama yang ada- tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut dan terkait erat dengan historisitas pemahaman dan interpretasi orang perorang atau kelompok perkelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan, dan ditelaah lewat pendekatan doktrinal-teologis, sedangkan historisitas keberagaman manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan inter disipliner, baik lewat pendekatan filosofis, historis, psikologis, sosiologis, kultural, antropologis, maupun hermeneutik.[i]
Perubahan kehidupan masyarakat modern era teknologi dan informasi yang begitu cepat mengandaikan perlunya pengkajian ulang terhadap proses pembakuan hadis, tanpa perlu harus menghilangkan otentisitas spiritualitas Islam yang bersumber dari Qur;an dan al-Sunnah. Dalam literatur Barat, kajian ini biasanya disebut dengan hermeneutik. Formula yang menyatakan bahwa ajaran Islam adalah “shalih li kulli zaman wa makan”, sebenarnya lebih menunjukkan fleksibilitas dan elastisitas ajaran, bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. Suatu pandangan yang lebih menekankan pandangan ke depan (progresif) dan bukan ke belakang (regresif). Proses pembakuan ajaran Islam yang biasa disebut dinamisasi memang harus berjalan bersama-sama, seiring dengan derap perubahan masyarakat dengan barbagai tantangannya masing-masing.
Ajaran Islam bukan seperti patokan matematis yang kaku, ahistoris, dan kering. Dunia spiritualitas keagamaan menghendaki sikap yang lentur tapi kenyal. Namun, ungkapan terakhir ini tidak dapat dipahami dengan baik kalau kita tidak begitu peduli kepada sejarah gerakan pengumpulan, pembukuan, dan pembakuan hadis yang berjalan pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah. Bersikap kritis dan mempelajari proses perkembangan dan pertumbuhan gerakan pengumpulan dan periwayatan hadis bukan sama sekali untuk melepaskan sendi-sendi keislaman, tapi justru untuk memberi ruang gerak yang lentur –dinamis, memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap pertumbuhan Islam di masa yang akan datang, dimana tantangan zamannya akan semakin bertambah kompleks.[ii]
II.      PENDEKATAN HERMENEUTIK
Pemikiran keagamaan pada dataran low tradition, yakni pada dataran realitas historis yang kongkrit, sangat terkait dan langsung bersentuhan dengan berbagai bentuk pemikiran yang lain. Sebutlah pemikiran politik, pemikiran ekonomi, pemikiran sosial budaya, pemikiran strategi pertahanan dan keamanan, dan seterusnya. Pemikiran keagamaan pada wilayah high tradition, yakni pada dataran konsep, teori-teori, yang bersifat kognitif skematis, barangkali memang agak berbeda dari corak pemikiran – pemikiran manusia yang lain, semata-mata karena adanya kategori “sakralitas” yang dikatkan dengan keberadaan Kitab Suci.
Jika kita memahami pemikiran keislaman pada dataran low treadition –bukan pada dataran high tradition- maka sesungguhnya ia sama saja seperti corak pemikiran – pemikiran manusia yang lain. Ia tidak bisa terlepas sama sekali dari keterkaitannya dengan “bahasa” dan “sejarah”. Bahasa terkait dengan konvensi, kontrak sosial, adat istiadat dan akar budaya setempat yang secara berkesinambungan telah berjalan berabad-abad; sedangkan sejarah terkait dengan persoalan kapan, di mana, dan siapa (kapan terjadi, abad berapa, di mana terjadi, dalam situasi politik dan sosial yang seperti apa, standar ekonomi yang bagaimana, tingkat kemajuan ilmu dan teknologi sejauh mana, serta siapa para pelaku dan aktornya, dan seterusnya).[iii]
Pemikiran keagamaan dan keislaman khususnya –lebih-lebih pada dataran low tradition- ternyata tidak begitu saja jatuh dari langit dan tidak pula muncul dalam ruangan hampa kebudayaan dan kekosongan dari berbagai peristiwa sejarah yang melingkarinya. Pemikiran keagamaan pada umumnya dan pemikiran keislaman pada khususnya berkembang beserta pandangan dunia (nadhariyyah al-‘alam) yang hidup mengitarinya. Sedangkan pandangan dunia suatu komunitas atau suatu bangsa itu sendiri juga selalu terkait dengan gerak perubahan sejarah dan budaya (prahistoris, historis, agraris, industrial, dan post-industrial). Setiap tahapan perkembangan budaya ternyata berpengaruh pada corak pemikiran keagamaan dan pemikiran keislaman yang berkembang di suatu tempat tertentu. Sebagai produk sejarah manusia biasa, ia tidak terlepas dari gerak perubahan sejarah sosial budaya yang mengitarinya. Di sini lalu muncul persoalan relevansi yang selalu mengintip dari belakang tabir percaturan pemikiran keagamaan dan pemikiran keislaman kontemporer.[iv]
Dengan memahami sebaik dan secermat mungkin keterkaitan antara ketiga komponen eksistensi manusia, yakni keterpautan antara bahasa, pemikiran, dan sejarah, sekaligus dalam hubungannya dengan nilai-nilai etis yang hendak diraih, maka akan dimungkinkan pengembangan pemikiran Islam. Keterputusan hubungan antara ketiganya, yakni putusnya hubungan antara pemikiran (keislaman), budaya dan sejarah yang melatarbelakanginya (sejarah penetapan hukum-hukum agama, sejarah terbentuknya pranata sosial Islam, bahkan sejarah sosial-politik dan perkembangan kontemporer pemikiran Islam, dan sebagainya) hampir-hampir dapat dipastikan akan terbentuk proses pensakralan pemikiran keagamaan. Pemikiran keislaman yang terlepas dari historisitasnya menjadi tidak boleh diperdebatkan ulang, tidak boleh dirubah, atau diperbaiki.[v] Pendekatan model hermeneutik terkait dengan tiga aspek dari teks, yaitu konteks dimana teks itu ditulis, komposisi grammatikal (tata bahasa) dari teks, dan keseluruhan teks dan pandangan dunianya.[vi]
Meminjam teori Fazlur Rahman, penafsiran Al-Qur’an (teks keagamaan) terdiri dari dua gerakan ganda,dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini. Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang makkah pada masanya. Yang pertama dari dua gerakan di atas terdiri dari dua langkah; pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga, bahkan kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Makkah harus dilakukan. Kedua, adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rationes legis yang sering dinyatakan. Gerakan yang kedua, harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasi sekarang. Artinya ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang. Ini memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mngimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula.[vii]
Tugas pokok hermeneutik ialah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda.[viii] Proses pemahaman dan penafsiran ini tidak dengan metode induksi dan tidak pula deduksi, melainkan dengan metode alternatif yang disebut abduksi, yaitu menjelaskan data berdasarkan asumsi dan analogi penalaran serta hipotesa-hipotesa yang memiliki berbagai kemungkinan kebenaran. Di sini, prakonsepsi dan pra disposisi seorang penafsir dalam memahami teks memiliki peran yang besar dalam membangun makna. Dalam tradisi hermeneutika, sebuah teks menawarkan berbagai kemungkinan untuk ditafsirkan berdasarkan sudut pandang serta teori yang hendak dipilihnya. Tujuan utamanya adalah untuk melakukan rekonstruksi makna seobyektif mungkin sebagaimana yang dikehendaki pengarang. Dengan kata lain, sebagaimana dalam metodologi ilmu pada umumnya, hermeneutika berusaha menemukan gambaran dari sebuah bangunan makna yang benar yang terjadi dalam sejarah yang dihadirkan kepada kita oleh teks.[ix]

III.   SISTEM PERIWAYATAN HADIS
Dalam periwayatan hadis Nabi, berlaku dua macam cara, yaitu periwayatan dengan lafal dan periwayatan dengan makna. Dalam prakteknya periwayatan hadis berdasarkan lafal jumlahnya relatif lebih kecil dibandingkan periwayatan hadis berdasarkan makna. Bahkan mayoritas hadis diriwayatkan berdasarkan makna dengan persyaratan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti pengetahuan mendalam tentang bahasa Arab dengan segala cabangnya, pengetahuan tentang tema dan konteks hadis yang diriwayatkan, dan tujuan Nabi bersabda serta pengetahuan tentang syari’at agama.[x]
Pada awalnya orang menerima hadis secara lisan, sehungga ketika mereka menyampaikan hadis itu, mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan hadis, redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Sikap penerimaan ulama terhadap hadis berbeda-beda. Abu hanifah (81-150 H), seorang ulama yang berasal dari Kufah, mempergunakan hadis-hadis yang berstandar mursal dan munqathi’ karena menurutnya sedikit sekali hadis-hadis yang berstandar marfu’. Sedangkan hadis-hadis mursal dan munqthi’ banyak menggunakan akal dan qiyas dalam perumusannya.[xi] Sementara Imam Malik (94-179 H), ulama dari Madinah, mengembangkan periwayatan dan pemahaman hadis yang lain. Di kota Madinah berkumpul sahabat-sahabat Nabi seperti Abu Bakar dan tokoh-tokoh tabi’un yang lain. Hadis-hadis dari sahabat terdekat Nabi inilah yang dijadikan patokan berhujjah oleh Imam Malik. Karena tingkat kepercayaan merekalah, disamping tingkat kedekatannya kepada Nabi, maka Imam Malik hanya mau mengambil hadis dari mereka.[xii]
Imam Syafi’i (150-204 H) adalah ulama penerima dan pembela hadis mengenai hukum yang paling gigih sebagai suatu dasar hukum. Ia mencari hadis di Makkah dan Madinah, serta mempelajari kitab Muwattha’ Imam Malik. Untuk mengantisipasi perkembangan dan pemekaran pemikiran politik hukum dan kalam pada saat itu, dirasakan perlunya penyusunan pokok-pokok ajaran Islam yang standar dan seragam, yang dapat dijadikan pedoman oleh umat Islam pada saat itu dan untuk generasi berikutnya. Untuk menjaga integritas kaum muslimin secara keseluruhan –yang saat itu sudah terpecah-pecah menjadi Khawarij, Murji’ah, Jahmiyah dan lain-lain- langkah Imam Syafi’i untuk menyatukan ummat dengan bersandar pada otoritas hadis memang sangat diperlukan. Ajaran Ahl al-Sunnah wal Jama’ah yang semula hanya berorientasi kepada politik, akhirnya merembes dan menyebar merasuki wilayah hukum dan teologi.[xiii] Dari paparan di atas dapat dibuat rekonstruksi kembali mengapa muncul hadis-hadis yang cenderung membela aliran “tengah” yaitu Ahl al-Sunnah wal Jama’ah dan mengecilnya arti penting kelompok lain, seperti Mu’tazilah. Orang yang datang belakangan tidak sempat lagi bertanya apakah pernah ada kelompok Mu’tazilah, Syi’ah dan lain-lain kelompok pada saat Nabi Muhammad masih ada.[xiv]
Ulama di belakang hari lebih suka menerima hadis sebagai apa adanya, seperti yang tertulis dalam kitab induk hadis sebagai produk jadi. Hadis yang terumuskan dari sunnah yang hidup saat itu mempunyai harga mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Pada gilirannya, orang sulit membedakan mana hadis-hadis yang bersifat mutlak –yang terbebas dari ikatan ruang dan waktu- yang berkaitan dengan akidah dan ibadah, dan hadis-hadis yang bersifat nisbi –yang terikat ruang dan waktu- yang menyangkut bidang muamalat, pergaulan hidup, adat kebiasaan, yang lebih mencerminkan suatu tradisi atau sunnah yang hidup pada suatu fase penggal sejarah tertentu.[xv]

IV.   PEMAHAMAN HADIS
Secara garis besar, tipologi pemahaman ulama dan ummat Islam terhadap hadis diklasifikasikan menjadi dua bagian. Yang pertama adalah tipologi pemahaman yang mempercayai hadis sebagai sumber daripada ajaran Islam tanpa mempedulikan proses panjang sejarah pengumpulan hadis dan proses pembentukan ortodoksi. Barangkali tipe pemikirannya yang oleh ilmuwan sosial dikategorikan sebagai tipe pemikiran yang ahistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadis dari sunnah yang hidup pada saat itu). Tipe ini biasa juga disebut tekstualis. Yang kedua adalah golongan yang mempercayai hadis sebagai sumber ajaran kedua daripada ajaran agama Islam, tetapi dengan kritis-historis melihat dan mempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadis tersebut. Mereka memahami hadis secara kontekstual.[xvi] Tipe pemahaman yang kedua ini tidak begitu popular karena pemahaman ini tenggelam dalam pelukan kekuatan Ahl al-Sunnah wal jama’ah yang lebih suka memahami hadis secara tekstual. Pemahaman secara tekstual ini diperlukan oleh Ahl al-Sunnah wal jama’ah karena dorongan untuk menjaga dan mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran ortodok.[xvii]
Para pemerhati sejarah agama Islam sangat memahami kedudukan sentral Nabi Muhammad sebagai makhluk historis (yamsyuna fi al-aswaq) (al-Furqan, 25 : 20) yang selalu berhadapan dengan beberapa pilihan tata nilai yang bersifat pluralistik. Bahkan jika ditilik secara lebih tajam, ayat-ayat al-Qur’an yang mengilhami manusia muslim untuk berperilaku dan bertindak di muka bumi, menurut Prof Arkoun, adalah bersifat zamkaniy (zaman dan makan), yakni selalu melibatkan dimensi historisitas ruang dan waktu.[xviii] Asbab wurud al-Hadis tidak lain dan tidak bukan adalah dimensi historis hadis, dimana fundamental values selalu ada di belakangnya. Demikian juga dengan Asbab al-nuzul al-Qur’an merupakan dimensi historisitas al-Qur’an. Untuk faktor keteladanan  yang bersifat historis-empiris dalam diskursus keberagamaan Islam pada khususnya memang lebih diutamakan daripada konsepsi teo-filosofis yang transendental.
Konsep Asbab al-nuzul dan asbab al-wurud mempunyai kaitan yang erat dengan konsep lain yang juga amat penting, yaitu nasikh mansukh, berkenaan dengan sumber-sumber pengambilan ajaran agama, baik al-Qur’an maupun al-sunnah. Dalam konsep Asbab al-nuzul, asbab al-wurud dan nasikh mansukh terkandung adanya kesadaran historis di kalangan ahli hukum Islam. Adalah kesadaran historis ini, menurut Hodgson, yang menjadi salah satu tumpuan harapan bahwa Islam akan mampu lebih baik dalam menjawab tantangan zaman di masa depan. Kata Hodgson :
“Tetapi barangkali modal potensial terbesar Islam yang paling hebat ialah kesadaran historisnya yang jelas, yang sejak dari semula mempunyai tempat begitu besar dalam dialognya. Sebab kesediaan mengikuti dengan sungguh-sungguh bahwa tradisi agama terbentuk dalam waktu, dan selalu mempunyai dimensi historis, membuat agama itu mampu menampung ilham baru apapun ke dalam realita dari warisan dan dari titik tolak mulanya yang sangat kreatif, yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau pengalaman rohani baru.”[xix]
Pendekatan historis ini tidaklah berarti relativisasi total ajaran agama dan sifat yang memandang sebagai tidak lebih daripada produk pengalaman sejarah belaka. Tetapi hendak mencari pemahaman yang benar atas sebuah teks yang hadir pada kita. Persoalannya adalah bagaimana menangkap makna / pesan inti yang universal itu, yang tidak tergantung kepada konteks, juga tidak kepada sebab khusus dari sebab al-nuzul / al-wurud munculnya suatu ajaran atau hukum.
Yang menjadi persoalan juga adalah bagaimana kita mempersepsi suatu ungkapan linguistik untuk dapat melakuklan generalisasi tinggi dari makna immediatenya ke makna universalnya. Berkaitan dengan ini, penting sekali memahami penegasan dalam kitab suci bahwa Allah tidak mengutus seorang rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnya (Ibrahim, 14:4). Bahasa termasuk kategori historis, dan kesadaran kebahasaan akan dengan sendirinya menyangkut kesadaran historis.[xx] Masalah kebahasaan mungkin akan ternyata tidak terbatas hanya kepada segi linguistiknya semata, tetapi juga kulturalnya.


Catatan Kaki:

[i] M. Amin Abdullah, ‘Kata Pengantar’ buku Studi Agama, Normatitivas atau Historisitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hal. V.
[ii] Ibid, hal. 310.
[iii] M. Amin Abdullah, Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman, dalam Hamin Ilyas dan Muhammad Azhar (ed), Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah, Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta, LPPI, 2000, hal. 4-5.
[iv] Ibid., hal. 5.
[v] Ibid., hal. 6.
[vi] Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women, Kuala Lumpur, Penerbit fajar Bakti, 1992, hal. 3.
[vii] Fazlur rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, Bandung, Penerbit Pustaka, 1985, hal. 7-8.
[viii] Richard E. Palmer, ‘Hermeneutics’ dikutip dalam Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta, yayasan Paramadina, 1996, hal. 17.
[ix] Ibid., hal. 18.
[x] Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Matn al-Hadis al-Nabawi al-Syarif, tt, Muassasat al-Karim ibn Abdullah, 1986, hal. 226
[xi] M. Rasyid Ridla, Muqaddimah al-Kitab Miftah Kunuz al-Sunnah, Beirut, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, 1983, hal.10.
[xii] Ibid.
[xiii] Amin Abdullah, Studi Agama, Op. Cit., hal. 312
[xiv] Ibid., hal. 313.
[xv] Ibid., hal. 314-315.
[xvi] M. Quraish Shihab, ‘Kata pengantar’ dalam Muhammad Ghazali, Studi Kritis atas Hadis antara Pemahaman Tekstual dan kontekstual, Bandung, Penerbit Mizan, 1989, hal. 8-9.
[xvii] Amin Abdullah, Studi Agama, Op. Cit., hal. 315.
[xviii] M. Arkoun, “al-Fikr al-Islamiy Qira’atun Ilmiyatun” dikutip dalam Amin Abdullah, Studi Agama, Op. Cit., hal. 64.
[xix] Marshal GS. Hodgson, The Venture of Islam, dikutip dalam Nurcholish Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, yayasan Paramadina, 1994, hal. 35-36
[xx] Ibid., hal. 37.




IRADAH ALLAH DALAM AL-QUR’AN

1.Tafsir QS. Al-An’am , 6:39 : “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, dan bisu, berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya) niscaya disesatkannya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” Maksudnya barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kesesatannya, niscaya disesatkannya dengan membiarkan dia menelusuri jalan yang dikehendaki nafsunya. Dan barangsiapa yang Dia kehendaki untuk diberi petunjuk, niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.
            Ayat ini menginformasikan bahwa Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki. Penyesatan ini terjadi karena mereka enggan menerima petunjuk, dan berkeras menolak bimbingan. Memang tidak jarang orang yang sedang berada pada awal tahap kesesatan, yang karena keras kepala enggan meninggalkan kesesatannya, hingga akhirnya kesesatan itu bertambah dan semakin bertambah, sampai akhirnya ia terjerumus masuk ke jurang kesesatan yang dalam. Demikian juga sebaliknya, boleh jadi seseorang pada mulanya belum lagi mencapai tingkat memadai dalam kebajikan, tetapi bila hatinya terbuka, maka sedikit demi sedikit kebajikan dan ketakwaannya akan meningkat hingga akhirnya ia termasuk kelompok orang-orang yang dekat dengan Allah. Ini adalah ketetapan Allah yang bersifat umum dan menyentuh semua manusia. Demikianlah Allah menyesatkan dan memberi petunjuk sesuai dengan kehendak dan sikap masing-masing manusia. Ini yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya : “hendaklah kalian selalu bersikap benar, karena sesungguhnya seseorang terus-menerus bersikap benar sampai akhirnya Allah menetapkannya sebagai seorang shiddiq (yang sikap, ucapan, dan tindakannya selalu benar), dan hindarilah kebohongan karena sesungguhnya seseorang terus menerus berbohong sampai akhirnya ia ditetapkan oleh Allah sebagai pembohong.”
            2.Tafsir QS. Al-An’am, 6:125 “Maka barangsiapa yang Allah menghendaki untuk memberinya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki untuk disesatkannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sangat sempit lagi sesak, bagaikan dia sedang mendaki di langit. Begitulah Allah menimpakan siksa atas orang-orang yang tidak beriman.”
            Ayat ini menjelaskan tentang kehendak Allah, ketentuan dan peranan-Nya yang berkaitan dengan keislaman serta ketaatan seseorang mengikuti Rasul, dan kesesatan serta keengganan orang lain mematuhi Rasul. Allah berfirman : “Maka jika demikian itu halnya, barangsiapa yang Allah menghendaki untuk memberinya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam, yaitu dengan mencampakkan cahaya iman ke hatinya setelah ia menampakkan keinginan untuk beriman dan melangkahkan kaki ke arah sana, dan atau mendukung keinginannya untuk percaya dengan jalan mengukuhkan pikiran dan hatinya, sehingga hilang keraguan yang menyelimutinya. Dan barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah untuk disesatkannya, yakni menetap dalam kesesatannya, karena kebejatan hatinya, niscaya ia menolak ajakan iman, sehingga Allah menjadikan dadanya sangat sempit tidak mampu menampung kebajikan dan kebenaran, bahkan dadanya sesak, sehingga tidak ada kebaikan yang bersedia mendatanginya. Keadaannya ketika itu bagaikan ia sedang memaksakan diri mendaki di langit, yakni di angkasa, atau ke angkasa.”
            Ayat ini dijadikan juga oleh sebagian orang sebagai bukti bahwa keimanan dan kesesatan bersumber dari Allah SWT. Pendapat ini benar, jika yang dimaksud adalah adanya keterlibatan, bukan dalam arti bahwa Dia memaksakan kehendak-Nya, tanpa melibatkan kehendak dan keinginan manusia. Ayat ini dan semacamnya hanya berbicara tentang apa yang dilakukan Allah bagi keislaman dan kesesatan seseorang. Tetapi tidak ada dalam teksnya sedikitpun isyarat yang menunjukkan bahwa Allah sendiri yang melakukan hal tersebut. Apa yang dibicarakan ayat ini dalam konteks keislaman atau penolakannya, terbatas pada perluasan dan penyempitan dada, bukan menyangkut keinginan dan dorongan yang terdapat dalam diri manusia.  Keinginan dan dorongan itu sama sekali tidak diuraikan disini. Ini dapat dianalogikan dengan seorang tukang, katakanlah penjahit, yang menjelaskan bagaimana caranya dia menjahit satu pakaian dengan model tertentu. Ia sekedar menjelaskan caranya, tidak membicarakan siapa yang menciptakan model itu dan atas inisiatif siapa dia menjahitnya demikian. Dari sumber lain diketahui bahwa model dan keinginan itu datang dari pihak lain, dalam hal ini adalah pemakainya sendiri.

Rabu, 06 Oktober 2010

SUNNATULLAH DALAM AL-QUR'AN

Sunnatullah dari segi bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah antara lain berarti "kebiasaan". Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Dalam Al-Qur'an kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatuna, dan sunnatul Awwalin, kesemuanya berbicara dalam konteks kemasyarakatan. Perlu diingat bahwa apa yang dinamai hukum-hukum alam pun adalah kebiasaan-kebiasaan yang dialami manusia, dan dari ikhtisar pukul rata statistik tentang kebiasaan-kebiasaan itu, para pakar merumuskan hukum-hukum alam. Kebiasaan itu dinyatakan Allah sebagai tidak beralih (al-Isra, 17:77) dan tidak pula berubah (al-Fath, 48:23), dan berganti juga tidak (al-Ahzab, 33:62). Karena sifatnya demikian, maka ia dapat dinamai "hukum-hukum kemasyarakatan" atau ketetapan-ketetapan Allah menyangkut situasi masyarakat.
Menurut beberapa ayat Al-Qur'an, seperti al-Isra, 17:77; al-Fath, 48:23; al-Ahzab, 33:62; ada keniscayaan bagi sunnatullah (hukum-hukum kemasyarakatan) itu, tidak ubahnya dengan hukum-hukum alam atau yang berkaitan dengan materi. Hukum-hukum alam sebagaimana hukum kemasyarakatan bersifat umum dan pasti, tidak satupun di negeri manapun orang dapat terbebaskan dari sanksi bila melanggarnya. Hukum-hukum itu tidak memperingatkan siapa yang melanggarnya dan sanksinya pun membisu sebagaimana membisunya hukum itu sendiri. Masyarakat dan jenis manusia yang tidak membedakan antara yang haram dan yang halal akan terbentur oleh malapetaka, ketercabikan, dan kematian. Ini semata-mata adalah sanksi otomatis, karena kepunahan adalah akhir dari semua mereka yang melanggar hukum alam/ kemasyarakatan.
Al-Qur'an berbicara tentang sunnatullah dalam konteks perubahan sosial, yaitu al-Anfal, 8:53; dan al-Ra'd, 13:11. kedua ayat diatas berbicara tentang perubahan, ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedang ayat kedua yang menggunakan kata "ma" (apa) berbicara tentang perubahan apapun, baik dari nikmat (positif) menuju niqmah (negatif, murka Ilahi) maupun dari negatif ke positif.
Beberapa hal perlu digarisbawahi menyangkut kedua ayat di atas yaitu :
1.     Ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Ini dipahami dari penggunaan kata "qaumin" (kaum/masyarakat) pada kedua ayat di atas. Selanjutnya dari sana dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Memang boleh saja perubahan bermula dari seorang yang ketika ia melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya, diterima dan menggelinding dalam masyarakat. Disini ia bermula dari pribadi dan berakhir pada masyarakat. Pola pikir dan sikap perorangan itu "menular" kepada masyarakat luas, sedikit demi sedikit, kemudian "mewabah" kepada masyarakat luas.
2.    Penggunaan kata "qaum" juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslim atau satu suku, ras, dan agama tertentu; tetapi berlaku umum, kapan dan dimanapun mereka berada.
3.    Karena ayat tersebut berbicara tentang kaum, maka ini berarti bahwa sunnatullah yang dibicarakan berkaitan dengan kehidupan duniawi, bukan ukhrawi. Hal ini mengantar kita untuk berkata bahwa ada dua macam pertanggungjawaban, yaitu pertama bersifat pribadi (Maryam, 19:95), dan yang kedua tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif (karena itu Al-Qur'an menggarisbawahi "Hindarilah cobaan yang tidak hanya menimpa secara khusus orang-orang yang berlaku aniaya diantara kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah sangat pedih pembalasannya". Al-Anfal, 8:25). Rasul juga pernah ditanya "apakah kita akan binasa padahal orang-orang saleh ada di tengah- tengah kita?" Beliau menjawab singkat "Na'am idza katsura al-khubs" (ya, kalau kebejatan telah merajalela).
4.    Kedua ayat diatas berbicara tentang dua pelaku perubahan yaitu pertama Allah, yang mengubah sisi luar/ lahiriyah masyarakat. Kedua adalah masyarakat/ manusia, yang melakukan perubahan pada sisi dalamnya (ma bi anfusihim ? apa yang terdapat dalam diri mereka). Perubahan pada "qaum" menyangkut banyak hal, seperti kekayaan, kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kemuliaan dan kehinaan, persatuan dan perpecahan, dll yang berkaitan dengan masyarakat secara umum, bukan secara individu.
5.    Perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut "sisi dalam mereka". Tanpa itu mustahil terjadi perubahan sosial.

NILAI HADIS AYAT SETAN DALAM TAFSIR (Studi Kualitas Hadis Ayat Setan dalam KitabTafsir al-Thabari)

A.  Latar Belakang
Al-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib al-Thabari, seorang Imam yang agung, mujtahid mutlak, yang memiliki banyak karya terkenal dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Ia lahir pada tahun 224 H dan wafat pada tahun 310 H di Baghdad. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki banyak keahlian dalam ilmu-ilmu keislaman, seperti keilmuan Al-Qur’an, Tafsir, Fiqih, hadis, dan sejarah.
Salah satu karya terbesar Ibn Jarir dalam tafsir yaitu Tafsir “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an” dalam tigapuluh juz. Tafsir al-Thabari adalah kitab tafsir tertua yang ada sekarang ini, dan dianggap paling bernilai dan paling terkenal, yang di dalamnya terhimpun berbagai riwayat yang terkait dengan penjelasan Al-Qur’an, disamping penalaran yang akurat tentang istinbat hukum, tarjih berbagai pendapat, dan pembahasan yang bebas tidak terikat pada madzhab tertentu.
Sistematika Ibn Jarir dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan cara mencari sandaran pendapat dari kalangan Sahabat dan Tabi’un (Tafsir bi al-Ma’tsur) dengan menyebutkan sanad yang utuh. Jika dalam penafsiran terdapat beberapa riwayat, maka al-Thabari mengarahkan pada riwayat yang dinilainya lebih akurat, dan melakukan tarjih diantaranya, dan menentukan pendapat yang dipilihnya. Akan tetapi dalam banyak riwayat Ibn Jarir tidak memberikan komentar atau penilaian, dan menyerahkan penilaian riwayat-riwayat yang dikutipnya kepada generasi-generasi yang datang sesudahnya. Dalam hal ini ia tidak bisa dikatakan bersalah, karena sumber-sumber kutipannya telah disebutkan dengan jelas. Sebagai seorang sejarawan, ia telah menunaikan tugas dengan baik, dan menjadi tugas generasi berikutnya untuk meneruskan usaha yang telah dirintisnya.
Diantara riwayat yang dikutip oleh al-Thabari adalah riwayat tentang “ayat-ayat setan”, yaitu riwayat yang menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad menerima wahyu Al-Qur’an surat al-Najm : 19-20 (tentang Lata, ‘Uzza. dan Manat) lalu setan menambahkan “Tilka al-Gharaniq al-‘Ula wa syafa’atuhunna laturja” (itu adalah gharaniq yang agung dan syafa’atnya diharapkan). Dalam riwayat itu disebutkan bahwa ketika ayat-ayat itu dibaca oleh Nabi (dengan tambahan ayat setan) orang-orang Islam lalu sujud, juga orang-orang musyrik Makkah melakukan hal yang sama. Orang makkah merasa bergembira karena “tuhan-tuhan” mereka telah diadopsi oleh Nabi Muhammad, dan ditempatkan secara wajar dan baik sekali. Riwayat-riwayat seperti itu kemudian dikutip oleh penulis-penulis Barat dan dijadikan dasar pemikiran bahwa Al-Qur’an itu tidak otentik, dan ada yang palsu.
Riwayat-riwayat tentang “ayat setan” oleh al-Thabari tidak diberi penjelasan dan komentar, dan bahkan dipakai sebagai landasan penafsiran ayat 52 surat al-Hajj. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tentang “riwayat-riwayat yang berhubungan dengan ayat-ayat setan”, dalam rangka untuk menyingkap kualitas riwayat-riwayat tersebut, baik dari sisi sanad maupun matannya (kritik internal dan eksternal).

B.  Rumusan Masalah dan Hipotesis
Masalah utama dalam penelitian ini adalah “apa nilai hadis/ riwayat tentang ayat-ayat setan” dalam kitab tafsir al-Thabari?  Apakah riwayat itu sampai pada tingkat shahih, hasan, dha’if atau malah maudlu’? Apakah isi riwayat-riwayat itu sejalan misi kenabian, dan ayat-ayat Al-Qur’an sendiri? Mungkinkah riwayat-riwayat itu disusupkan oleh orang-orang non-muslim yang mempunyai motivasi jahat?
Kesimpulan sementara yang peneliti ajukan adalah bahwa riwayat-riwayat itu tidak shahih, dan bertentangan dengan kema’shuman Nabi Muhammad, khususnya dalam menerima wahyu.

C.  Tujuan Penelitian
Penelitian akan berusaha mengungkap nilai hadis/ riwayat tentang ayat-ayat setan dalam kitab tafsir al-Thabari, yang oleh pengarangnya tidak mendapat komentar apapun, bahkan dijadikan sebagai landasan penafsiran ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk menjelaskan nilai hadis/ riwayat tentang ayat setan, apakah shahih, hasan, dha’if ataukah maudlu’.
2.      Untuk menjelaskan apakah isinya sejalan dengan Al-Qur’an dan misi kenabian.
3.      Untuk mengetahui faktor-faktor eksternal masuknya riwayat tentang ayat-ayat setan.

D.  Tinjauan Pustaka
Sejauh yang peneliti lakukan, sampai saat ini belum menemukan penelitian yang berkaitan dengan kajian terhadap hadis-hadis/ riwayat yang terdapat dalam kitab tafsir al-Thabari, khususnya tentang ayat-ayat setan. Bahkan riwayat tersebut justru menjadi rujukan bagi penulis-penulis lain yang datang sesudah masa al-Thabari, dan menyandarkan rujukannya kepada kitabnya tersebut.

E.   Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang objek kajiannya adalah teks-teks yang terdapat dalam kitab tafsir al-Thabari. Langkah-langkah yang akan ditempuh untuk menganalisis data agar dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1.      Menginventarisasi semua hadis/riwayat tentang ayat setan.
2.      Menginventarisasi semua periwayat yang terlibat dalam hadis yang dijadikan objek penelitian.
3.      Meletakkan dasar-dasar dan tolok ukur yang digunakan dalam penilaian para periwayat, kemudian membahas semua periwayat yang terkait dengan hadis yang diteliti.
4.      Menentukan periwayat yang dipandang lemah atau diperselisihkan otoritasnya dalam periwayatan. Setelah itu menentukan dan mengumpulkan semua hadis yang di dalamnya terdapat periwayat yang dipandang lemah.
5.      Memperhadapkan isi dari riwayat-riwayat yang diteliti dengan Al-Qur’an, hadis-hadis yang lebih akurat, dan sejarah nabi Muhammad.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahu, Muhammad Muhammad, al-Hadis wa al-Muhaddisun au ‘Inayah al-Ummah al-
Islamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyah, al-Qahirah : Syarikah Sahimah Mishriyah, 1378 H.

Al-Adlabiy, Shalahuddin ibn Ahmad, Manhaj Naqd al-Matn ‘Ibd Ulama al-Hadis al-
Nabawiy, Bairut : Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983.

Al-Albaniy, Muhammad Nashiruddin, Silsilah al-Ahadis al-Da’ifah wa al-Maudu’ah wa
Asaruha al-Sayyi’ fi al-Ummah, Bairut : al-Maktab al-Islamiy, 1985.

Al-Asqalaniy, Sihabuddin Abi al-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Muhammad (Ibn Hajar), Hady
al-Sariy Muqaddimah Fath al-Bariy, Bairut : Dar al-Fikr, tt.

______. Nuczhat al-Nadzar Syarh Nuhbat al-Fikr, Semarang, Matba’ah al-Munawwar, tt.

______. Kitab Tahdzib al-Tahdzib, Bairut : Dar al-Fikr, tt.

Al-A’dzamiy, Muhammad Mushthafa, Manhaj al-Naqd ‘ind al-Muhaddisin Nasyatuh wa
Tarikhuh, al-Amiriyah al-Riyad : Syarikah al-Tiba’ah al-Arabiyyah al-Sa’udiyyah
al-Mahdudah, 1982.

Al-Baghdadiy, Abu Bakar Ahmad ibn Ali ibn Tsabit al-Khatib, Kitab al-Kifayah fi ‘Ilm al-
Riwayat, Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.

Al-Bukhariy, Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail,al-Jami’ al-Shahih(Shahih al-Bukhariy),
Bairut : Dar al-Fikr, 1981.

Al-Daraquthniy, Ali ibn Umar ibn Ahmad ibn Mahdi ibn Mas’ud ibn Dinar ibn Abdilah,
Sunan al- Daraquthniy, Bairut : Dar al-Fikr, 1975.