Senin, 15 November 2010

TELADAN PENGORBANAN NABI IBRAHIM

Salah satu kebenaran pokok dalam kehidupan adalah bahwa setiap keberhasilan senantiasa menuntut semangat pengorbanan. Tanpa semangat itu, keberhasilan atau kesuksesan adalah mustahil. Begitu agung dan mulianya semangat pengorbanan itu, sehingga nilai kebalikannya pun berbanding lurus : yaitu hinanya hidup tanpa semangat pengorbanan dan solidaritas sosial. Yaitu hidup egoistis dan mementingkan diri sendiri.
Semangat berkorban yang setinggi-tingginya dan setulus-tulusnya telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as. Yaitu ketika beliau diperintahkan untuk mengorbankan putranya tercinta, Ismail. Padahal Ismail itu dianugerahkan Tuhan kepada Ibrahim ketika ia telah mencapai usia lanjut, dan telah lama sekali mendambakan keturunan. Lihat kisahnya pada surat al-Shaffat, 37 : 102-111. begitulah rekaman dalam kitab Allah tentang kisah dua insan, ayah dan anak yang sangat mengharukan; tentang dua hamba-Nya yang keduanya rasulullah yang kelak menjadi tauladan bagi ummat manusia tentang bagaimana menaati perintah Tuhan.
Membaca kisah yang menyentuh hati itu, tentu timbul pertanyaan dalam diri kita : Mengapa Nabi Ibrahim tega atau sampai hati bertindak mengorbankan seorang bocah, putranya sendiri yang telah lama didambakan, dan hanya diperoleh setelah berusia cukup lanjut. Mengapa pula Ismail dengan penuh pasrah kepada Allah menyerahkan dirinya kepada ayahnya untuk dikorbankan. Tidak lain karena Ibrahim dan Ismail menyadari bahwa hidup ini tidak mempunyai arti apa-apa kecuali jika mempunyai makna dan tujuan. Karena mereka percaya bahwa di dalam semangat berkorban itulah makna dan tujuan hidup itu mereka temukan. Serta menginsafi bahwa makna dan tujuan hidup yang benar ada dalam ridla Allah. Ridla Allah itu juga yang menjadi tujuan hidup kita. Sebab dalam ridla Allah atau perkenan Tuhan itulah kita akan merasakan kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang kekal abadi.
Ibrahim dan Ismail menuju Tuhan, dan mereka temukan Tuhan dalam perintah-Nya untuk berkorban. Mereka mencari ridla dan perkenan itu dalam semangat berkorban. Sebab sekalipun tidak terjadi Ibrahim mengorbankan Ismail (karena telah diganti dengan binatang sembelihan yang besar) tapi baik Ibrahim yang melaksanakan korban dan Ismail yang menjadi korban telah memperlihatkan dengan sebaik-baiknya bahwa mereka memiliki semangat berkorban yang tinggi.

HAKIKAT KORBAN
Qurban artinya pendekatan, yaitu pendekatan kepada Tuhan. Maka melakukan qurban adalah melakukan sesuatu yang mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Yakni mendekatkan diri kita kepada tujuan hidup kita. Sebab memang kita berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu dalam praktek, dalam bentuknya yang konkrit, tindakan berkorban adalah tindakan yang disertai pandangan jauh ke depan, yang menunjukkan bahwa kita tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat, kesenangan sementara, kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selama-lamanya.
Maka Ibrahim tidak mau tertipu oleh kesenangan mempunyai seorang anak kesayangan, yaitu Ismail, dan beliau tidak ingin lupa akan tujuan hidupnya yang hakiki, yaitu Allah SWT. Maka Ibrahim pun bersedia mengorbankan anaknya, lambang kesenangan dan kebahagiaan sesaat dan sementara itu, yaitu kesenangan duniawi. Sebab Ibrahim tahu dan yakin akan adanya kebahagiaan abadi dalam ridla dan perkenan Allah. Ismail pun tidak mau terkecoh oleh bayangan hendak hidup senang di dunia ini, tapi kemudian melupakan hidup yang lebih abadi di akherat kelak. Maka ia pun bersedia mengakhiri hidupnya yang toh tidak akan terlalu panjang itu, dan pasrah kepada Allah, dikorbankan oleh ayahnya.
Oleh karena itu, makna berkorban ialah bahwa dalam hidup kita melihat jauh ke masa depan dan tidak boleh terkecoh oleh masa kini yang sedang kita alami. Bahwa kita tabah dan sabar menanggung segala beban yang berat dalam hidup kita saat sekarang. Sebab kita tahu dan yakin bahwa di belakang hari kita akan memperoleh hasil dari usaha, perjuangan, dan jerih payah kita.
Makna berkorban ialah bahwa kita sanggup menunda kenikmatan kecil dan sesaat, demi mencapai kebahagiaan yang lebih besar dan kekal. Kita bersedia bersusah payah, karena hanya dengan susah payah dan mujahadah itu, suatu tujuan tercapai, dan cita-cita terlaksana. Al-Qur'an surat al-Syarh, 94 : 5-6 menyatakan bahwa "sesungguhnya beserta setiap kesulitan itu akan ada kemudahan, sekali lagi sesungguhnya beserta setiap kesulitan itu akan ada kemudahan." Maka bila engkau telah bebas dari suatu beban, tetaplah engkau bekerja keras, dan berusahalah mendekat terus kepada Tuhanmu".
Semangat berkorban adalah konsekuensi taqwa kepada Allah. Sebab taqwa itu jika dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan, akan membuat kita mampu melihat jauh ke depan, mampu menginsafi akibat-akibat perbuatan saat ini di kemudian hari, kemudian menyongsong masa mendatang dengan penuh harapan. Cobalah kita renungkan firman Allah dalam Kitab suci Al-Qur'an mengenai hal ini, al-Hasyr, 59 : 18, "wahai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang ia perbuat untuk hari esok. Bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan."
Firman ini mengandung perintah untuk bertaqwa. Dan dalam perintah taqwa itu sekaligus diingatkan agar kita membiasakan diri menyiapkan masa depan. Maka kuranglah taqwa seseorang jika ia kurang mampu melihat masa depan hidupnya yang jauh, jika ia hidup hanya untuk disini dan kini, di tempat ini dan sekarang ini. Atau dalam ukurannya yang besar, di dunia ini dan dalam hidup ini saja. Tetapi justru inilah yang sulit kita sadari. Sebab manusia mempunyai kelemahan pokok yaitu kelemahan berpandangan pendek, tidak jauh ke depan. Qur'an surat al-Insan, 76 : 27 menegaskan bahwa "sesungguhnya mereka (manusia) itu mencintai hal-hal yang segera, dan melalaikan di belakang mereka masa yang berat."
Maka manusia pun tidak tahan menderita dan menerima cobaan. Tidak tahan memikul beban, dan selanjutnya tidak tahan melakukan jerih payah sementara, karena mengira bahwa jerih payah itu kesengsaraan, dan menyangka bahwa kerja keras itu kesusahan, padahal justru dibalik jerih payahnya itu akan terdapat manis dan nikmatnya keberhasilan dan kesuksesan. Justru di belakang pengorbanan itulah akan terasa nikmatnya hidup karunia Tuhan yang amat berharga ini.

SIKAP OPTIMIS KEPADA TUHAN
Apa sebenarnya yang membuat orang enggan berkorban dan berjerih payah, serta tidak bersedia menempuh kesulitan sementara, menunda kesenangan sesaat. Memang biasanya orang ingin hidup egois, hidup untuk diri sendiri dan kesenangan sendiri. Akibatnya ketika ia menerima kesulitan, kesusahan, cobaan dan persoalan, ia mengira bahwa hanya ia sendirilah yang sedang dirundung kemalangan itu. Lalu ia pun mengeluh dalam hati, memprotes dalam batin, mangapa ia dibuat sengsara. Padahal tidaklah demikian keadaan dan hakikat hidup yang sebenarnya. Kesulitan adalah bagian dari hidup. Justru jika diterima dengan sabar dan tabah, kesulitan adalah bumbu hidup. Dan dikala kita sedang menderita dan kurang mujur, kita harus tahu serta sadar, bahwa sebenarnya bukan hanya kita saja yang mengalami kesulitan dan penderitaan. Tentang ini Allah memperingatkan kita dalam surat al-Nisa', 4 : 104 sebagai berikut; jika kamu merasakan penderitaan, maka sesungguhnya mereka (oran-orang lain) pun menderita seperti kamu, namun kamu mengharap dari Allah sesuatu yang mereka (orang-orang lain itu) tidak mengharap.
Jadi memang kita dan mereka (kita orang yang percaya kepada Tuhan, yang beriman; dan mereka yang tidak percaya, yang kafir) adalah sama-sama menderita. Tetapi justru dalam penderitaan itu kita berbeda dengan mereka. Sebab dalam penderitaan itu kita tetap berpengharapan dan optimis kepada Allah, justru kita harus menerima penderitaan itu dan sabar menanggungnya. Kemudian dijadikan cambuk, modal untuk berjuang, berusaha sungguh-sungguh dan bermujahadah dengan menanamkan semangat berkorban.
Semangat berkorban itulah yang akan melepaskan kita dari kungkungan penderitaan. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan atau membiarkan kita sendirian. Sebab di balik setiap penderitaan itu, seperti janji Allah sendiri, terdapat kenikmatan dan kebahagiaan. Tidak ada seruas dari perjalanan hidup kita yang berlalu dengan percuma. Kita hendaknya selalu mengingat gugatan Allah dalam Qur'an surat Ali Imran, 3 : 142 yang menegaskan "Apakah kamu menyangka kamu bakal masuk surga, padahal belum disaksikan oleh Allah siapa diantara kamu yang berjuang, bersusah payah, menempuh kesulitan, dan (belum disaksikan pula) siapa yang sabar, tabah, dan tahan menderita.
Berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras adalah hakikat hidup yang bermakna. Sementara itu pengorbanan adalah tuntutan perjuangan yang tak terelakkan. Keduanya harus diiringi dengan sikap yang lapang dada, sabar, dan tahan menderita. Hanya pandangan hidup serupa itulah yang akan memberi kenikmatan hakiki dan kebahagiaan sejati.
Itulah semangat pengorbanan Ibrahim yang pasrah hendak mengorbankan anaknya, Ismail. Dan itulah pula semangat Ismail, yang pasrah menyerahkan dirinya untuk dikorbankan. Keduanya menjadi contoh bagi kita semua tentang bagaimana ketulusan berkorban serta melawan godaan hidup sesaat, karena hendak mencapai  hidup bahagia abadi. Itulah ruh yang terkandung dalam ajaran berkurban. Dengan semangat pengorbanan yang tinggi kita mendekatkan diri kepada Allah, dan dengan ridla-Nya kita akan mendapatkan kebahagiaan sejati dan abadi.
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail memberikan teladan kepada kita tentang perjuangan yang gigih dalam kehidupan dan secara tegar melawan kekuatan dan godaan syetan. Dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 155 digambarkan hidup itu penuh ujian yang harus dihadapi secara sabar (gigih dan perjuangan terus-menerus yang tak kenal lelah).
و لنبلو نكم بشئ من الخوف والجوع و نقص من           الانفس و الثمرات و بشر الصا برين
Ayat ini menegaskan bahwa Allah pasti akan terus-menerus menguji kita. Ini mengisyaratkan bahwa hakikat hidup di dunia, antara lain ditandai oleh keniscayaan adanya cobaan/ ujian yang beraneka ragam. Ujian atau cobaan yang dihadapi itu pada hakikatnya sedikit, sehingga betapapun besarnya, ia sedikit jika dibandingkan dengan imbalan atau ganjaran yang akan diterima. Cobaan itu sedikit, karena betapapun besarnya cobaan, ia dapat terjadi dalam bentuk yang lebih besar daripada yang telah terjadi. Ia sedikit, karena cobaan dan ujian yang lebih besar adalah kegagalan menghadapi cobaan khususnya dalam kehidupan beragama.
Ujian yang diberikan Allah kadarnya sedikit bila dibandingkan dengan potensi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Ia hanya sedikit sehingga setiap yang diuji akan mampu memikulnya jika ia menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah itu. Bentuk ujian Allah antara lain, sedikit rasa takut, yakni keresahan hati menyangkut sesuatu yang buruk, atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang diduga akan terjadi. Sedikit rasa lapar, yaitu keinginan meluap untuk makan karena perut kosong, tetapi tidak menemukan makanan yang dibutuhkan; serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.
Informasi Allah tentang "soal-soal ujian" ini adalah nikmat besar tersendiri, karena dengan mengetahuinya kita dapat mempersiapkan diri menghadapi aneka ujian itu. Ujian diperlukan untuk kenaikan tingkat. Ujian sendiri itu baik, dan yang buruk adalah kegagalan menghadapinya. Takut menghadapi ujian adalah pintu gerbang kegagalan. Menghadapi sesuatu yang ditakuti adalah membentengi diri dari gangguannya. Biarkan ia datang kapan saja, tetapi ketika itu kita telah siap menjawab atau menghadapinya.
Manusia harus berjuang, karena hidup adalah pergulatan antara kebenaran dan kebathilan, pertarungan antara kebaikan dan keburukan. Manusia dalam hidupnya pasti menghadapi setan dan pengikut- pengikutnya. Allah memerintahkan untuk berjuang menghadapi mereka. Tentu saja dalam pergulatan dan pertarungan pasti ada korban, pihak yang benar atau yang salah. Aneka macam korban itu, bisa harta, jiwa, dan buah-buahan, baik buah-buahan dalam arti sebenarnya maupun buah-buahan dalam arti buah apa saja yang dicita-citakan. Tetapi korban itu sedikit, bahkan itulah yang menjadi bahan bakar memperlancar jalannya kehidupan, serta mempercepat pencapaian tujuan.
Semua hal yang terjadi sesuai dengan kehendak Allah, dan kehendak-Nya tercermin pada hukum-hukum alam dan kemasyarakatan yang ditetapkan-Nya yang berlaku untuk semua pihak. Bila seseorang tidak menyesuaikan diri dengan kehendak-Nya yang tercermin pada hukum-hukum alam itu, dia pasti mengalami kesulitan. Dia akan mengalami bencana, baik pada dirinya maupun pada lingkungannya. Allah telah menganugerahkan kepada manusia potensi untuk mengetahui manfaat dan madlarat banyak hal sehingga mereka dapat mengetahuinya, baik melalui penggunaan nalar, pengalaman, intuisi, dan atau penjelasan wahyu. Dia juga mengajarkan manusia tata cara meraih dan menolak manfaat dan madlarat itu.
Marilah momentum 'Idul Adha ini kita jadikan titik tolak untuk meraih berbagai anugerah Allah dan menolak bencana yang mungkin menimpa sesuai dengan sunnatullah dan takdir-Nya.

Sabtu, 06 November 2010

MUSIBAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN


Al-Qur’an surat al-Baqarah, 2:155 menyatakan :”Sungguh, Kami pasti akan terus menerus menguji kamu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar”.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa hakikat hidup di dunia, antara lain ditandai oleh keniscayaan adanya cobaan yang beraneka ragam. Ujian yang diberikan Allah kadarnya sedikit bila dibandingkan dengan potensi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Ia hanya sedikit, sehingga setiap yang diuji akan mampu memikulnya jika ia menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah itu.

Ujian yang akan terjadi yang diinformasikan Allah itu adalah nikmat besar tersendiri, karena dengan mengetahuinya manusia dapat mempersiapkan diri menghadapi aneka ujian itu. Yang buruk adalah kegagalan menghadapi ujian. Allah tidak menjelaskan kapan dan dalam situasi apa ia akan terjadi.
Bentuk ujian itu adalah sedikit dari rasa takut, yakni keresahan hati menyangkut sesuatu yang buruk, atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang diduga akan terjadi. Sedikit rasa lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Buah-buahan bisa dalam arti sebenarnya maupun buah-buahan dalam arti buah dari apa yang dicita-citakan. Muhammad Rasyid Rida menambahkan bahwa semata-mata menamakan diri beriman tidak berimplikasi secara langsung kepada keluasan rizki, hilangnya rasa takut dan kesedihan, serta kekuasaan yang kokoh. Semua itu berlangsung sesuai dengan sunnatullah dalam penciptaan, sebagaimana halnya sunnah dalam penciptaan adalah terjadinya musibah berdasarkan sebab-sebab yang mengantar terjadinya secara signifikan.

Dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 156-157 Allah menegaskan bahwa “Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kami akan kembali kepadaNya’. Mereka itulah yang mendapat banyak keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Maksud perkataan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” ketika ditimpa musibah bukan sekedar pernyataan yang dihafal dan dilafalkan tanpa penghayatan makna, tetapi maksudnya adalah penghayatan atas makna-maknanya, antara lain mereka termasuk makhluk Allah, milik Allah, dan kepadaNya kembali. Di tangan Allah kekuasaan atas segala sesuatu, dan Ia tidak berbuat kecuali sesuai dengan ilmu dan hikmah, dan sesuai dengan aturan yang digariskan, yang dikenal dengan sunnah atau sunnatullah. Kehendak Allah pada dasarnya tercermin pada hukum-hukum alam yang diciptakanNya. Bila seseorang tidak menyesuaikan diri dengan kehendakNya yang tercermin dalam hukum-hukum alam itu, dia pasti mengalami kesulitan, dia pasti mengalami bencana baik pada dirinya maupun lingkungannya. Bencana adalah kehendakNya juga karena Dia yang menciptakan hukum-hukumnya.

Yang mengucapkan kalimat “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” dengan menghayati makna-maknanya akan mendapat keberkatan yang sempurna, banyak dan beraneka ragam, seperti pengampunan, pujian, dan ganti yang lebih baik. Juga dapat rahmat dan petunjuk, yaitu petunjuk mengatasi kesulitan dan kesedihannya, dan petunjuk menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Dalam Al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 78-79 Allah berfirman :”Dimana saja kamu berada kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka kebaikan mereka mengatakan, ‘ini dari sisi Allah’, dan kalau mereka ditimpa suatu bencana, mereka mengatakan ‘ini dari engkau (Muhammad). Katakanlah ‘semuanya dari sisi Allah’, maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan, apa saja nikmat yang engkau peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”.

Penegasan Allah dalam ayat diatas bahwa semuanya (baik dan buruk) dari sisiNya dipahami dalam arti sesuai dengan ketentuan sunnatullah dan takdirNya, yakni hukum-hukum alam dan kemasyarakatan yang ditetapkannya berlaku untuk semua pihak, dan semua baik, tidak ada satu sisipun yang buruk. Kalau ada yang menilainya buruk, maka itu hanya bagi perorangan atau kelompok dan bersifat sementara, tetapi jika dilihat secara menyeluruh, maka ia baik.

Penyakit yang diderita seseorang adalah buruk menurut penilaian yang bersangkutan atau orang-orang tertentu, tetapi baik buat banyak orang, karena dengan demikian orang akan mengetahui nilai kesehatan. Bahkan sakit itu juga dapat menjadi baik bagi si sakit, karena dengan demikian ia mendapat pelajaran agar menghindari sebabnya, atau karena dengan penyakit itu- jika ia bersabar- ia memperoleh ganjaran atau pengampunan dosa. Demikian semua sunnatullah dan hukum-hukum yang ditetapkan Allah, walaupun buruk bagi seseorang atau satu kelompok, tetapi ia baik untuk banyak pihak, sehingga semua yang datang dari Allah adalah baik.

Setiap peristiwa yang terjadi melibatkan tiga unsur berikut:
1.ada yang menjadikannya
2.ada juga sebab-sebab yang mengantar kejadiannya
3.ada tanda-tanda dan dampak-dampaknya
Tiga hal itu tidak mungkin luput dari suatu peristiwa, disengaja atau tidak, terpaksa atau atas kehendak seseorang. Allah yang menentukan manfaat dan madlarat satu peristiwa berdasar pengetahuan dan takdir/pengaturanNya, serta Dia pula yang menciptakan sebab-sebabnya. Selanjutnya segala sesuatu diciptakan Allah dan diciptakanNya pula sebab-sebab yang memudahkan kelangsungan hidup dan pemanfaatannya. Allah juga telah menganugerahi manusia potensi untuk mengetahui manfaat dan madlarat banyak hal sehingga mereka dapat mengetahuinya, baik melalui penggunaan nalar, pengalaman, intuisi, dan atau penjelasan wahyu.

Kejahatan itu walaupun Allah juga yang menjadikannya serta menjadikan dan menetapkan sebab-sebabnya, tetapi peranan manusia dalam hal ini tidak kecil. Karena pada umumnya kejahatan itu menimpa manusia akibat ulahnya sendiri karena kebodohan, pandangan pendek, dan pengaruh hawa nafsunya. Sehingga pada umumnya kejahatan yang menimpa manusia adalah akibat perbuatannya sendiri, baik langsung maupun tidak.

Hukum-hukum alam dan kemasyarakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan buruk untuk setiap gerak dan tindakan telah ditetapkan Allah. Melalui hukum-hukum tersebut manusia diberi kemampuan memilih dan memilah, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan laranganNya menghendaki bahkan menganjurkan agar manusia meraih kebaikan dan nikmatNya. Karena itu ditegaskanNya bahwa “apa saja nikmat yang engkau peroleh wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah yakni Dia yang mewujudkan anugerahNya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selainmu, maka bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri”. Penegasan ini berbicara dari sisi manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat, dimana ia diberi kemampuan memilah dan memilih dan masing-masing mendapatkan hasil pilihannya sesuai sunnatullah dan takdirNya.




Rujukan
 
1.Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar. Juz IV, hal.192; 225-6; juz V hal.268.
2.Muhammad Husain Thabathaba’i. Tafsir al-Mizan, juz V, hal.14; juz XVII, hal.59; juz XIX
   hal. 173-4.
3.Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah. Juz I hal. 341-344; juz II hal. 493-497.