Sabtu, 18 Desember 2010

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER KETIGA AJARAN ISLAM


Arti Ijtihad

         Dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad telah banyak digunakan. Hakikat ajaran Al-Qur’an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad. Dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya ± 6300, hanya ±500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang berhubungan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Ayat-ayat tersebut pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya dsb. Untuk itu, ayat-ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an dan hadis, yaitu pada mulanya Sahabat Nabi dan kemudian para ulama. Penjelasan oleh para Sahabat Nabi dan para ulama itu diberikan melalui ijtihad.[1]
         Kata ijtihad menurut bahasa berarti ‘daya upaya” atau “usaha keras”. Dengan demikian ijtihad berarti “berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu”. Dalam istilah fikih, ijtihad berarti “berusaha keras untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama : Al-Qur’an dan hadis” (Badzl al-wus’i fi nail hukm syar’i bi dalil syar’i min al-kitab wa al-sunnah). Ijtihad dalam istilah fikih inilah yang banyak dikenal dan digunakan di Indonesia.
         Dalam arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain agama. Misalnya Ibn Taimiyah yang menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang tasawuf dan lain-lain, mengatakan:”Sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan,sebagaimana mujtahid-mujtahid lain.....[2] Dan pada hakikatnya mereka (kaum sufi di Bashrah) dalam masalah ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kufah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata negara, dan lain-lain.[3] Dr. Muhammad al-Ruwaihi juga menjelaskan bahwa di masa-masa akhir ini timbul berbagai pendapat tentang Islam, baik di Barat, Timur, maupun pada orang Arab serta orang Islam sendiri. Pendapat-pendapat orang Islam itu merupakan Ijtihad, baik secara perorangan maupun kolektif, yang memperoleh pahala sesuai dengan benar atau salahnya ijtihad itu.[4]

Sejarah dan Perkembangan Ijtihad

1. Bidang Politik
           Untuk pertama kalinya ijtihad dilakukan terhadap yang pertama timbul dalam Islam : siapa pengganti nabi Muhammad sebagai khalifah atau kepala negara setelah beliau wafat? Kaum Anshar berijtihad bahwa pengganti beliau haruslah salah seorang dari mereka, dengan alasan merekalah yang menolong beliau ketika dikejar-kejar Kaum Quraisy Makkah. Sedangkan menurut ijtihad Abu Bakar, yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi adalah orang Quraisy, dengan alasan Nabi Muhammad bersabda “para pemuka/ al-aimmah adalah dari golongan Quraisy”. Selama lebih 900 tahun ijtihad Abu Bakarlah yang dipegang oleh ummat Islam, yang dikenal dengan ‘Sunni’. Adapun menurut ijtihad Ali, yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi ialah keluarga Nabi Muhammad. Ijtihad ini di kemudian hari melahirkan madzhab Syi’ah. Di dalam madzhab ini terdapat perbedaan pendapat, sehingga melahirkan Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah, dan Syi’ah 12. Dan kaum khawarij tidak menyetujui hasil ijtihad kaum Anshar, kaum Sunni, dan kaum Syi’ah. Mereka (kaum khawarij) berijtihad bahwa muslim manapun, asal memenuhi syarat-syarat yang diperlukan, dapat menjadi khalifah dan tidak ada ketentuan bahwa ia harus orang Arab, Quraisy, ataupun keturunan Nabi.
           Tidak lama setelah menjadi khalifah, Abu Bakar menghadapi satu masalah; sebagian orang Islam tidak mau membayarkan zakatnya setelah Nabi Muhammad wafat. Ia menyelesaikan masalah itu melalui ijtihad. Begitu pula Umar ibn al-Khattab. Melalui ijtihad ia menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh meluasnya daerah yang dikuasai oleh tentara Islam. Berlainan dengan ketentuan dan Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad, Umar tidak membagi-bagikan tanah itu kepada tentara yang menaklukkannya.
2. Bidang Akidah
           Pada zaman Ali ibn Abi Thalib timbul satu masalah: bagaimana kedudukan orang yang berbuat dosa besar, apakah masih mukmin atau sudah kafir? Kaum Khawarij berijtihad bahwa orang yang berbuat dosa besar itu keluar dari Islam, dan karena itu ia adalah kafir. Kaum Murji’ah berijtihad bahwa ia masih mukmin. Sedangkan menurut Kaum Mu’tazilah, ia tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi muslim.
           Dalam bidang akidah ini selanjutnya timbul masalah: apakah perbuatan manusia itu ciptaan Tuhan atau ciptaan manusia itu sendiri? Mengenai masalah ini, ijtihad kaum Muktazilah dan Maturidiah Samarkand sama: Perbuatan manusia terjadi terjadi berkat kehendak dan daya yang diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia. Hal ini bertentangan dengan ijtihad Asy’ari dan Bazdawi dari Maturidian Bukhara :perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Menurut Asy’ari, manusia hanya memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan/ al-kasb. Sedang menurut al-Bazdawi, manusia hanya melakukan perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan, dan untuk ini ia menggunakan istilah maf’ul Tuhan dan fi’il manusia.[5]
           Mengenai sifat-sifat Tuhan dalam ajaran Al-Qur’an yang menggambarkan bentuk jasmani, Asy’ari berijtihad bahwa ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Tuhan itu harus diartikan secara harfiah; kursi Tuhan harus diartika kursi pula, tetapi tidak sama dengan kursi manusia. Sedang menurut ijtihad kaum Muktazilah ayat-ayat tersebut harus diambil arti tersiratnya, bukan arti tersuratnya. Dengan demikian, kursi Tuhan berarti kekuasaan Tuhan.
           Hasil ijtihad yang berbeda-beda dalam bidang akidah ini melahirkan 5 mazhab ilmu kalam : Khawarij, Murji’ah, Muktazilah, Asy’ariyah, dan Maturudiah. Dan ajaran masing-masing mazhab ini mengikat pengikut masing-masing.
3. Bidang Filsafat
           Setelah terjadi kontak dengan filsafat Yunani, para ulama Islam mempelajari pemikiran-pemikiran para filosof Barat. Karena Al-Qur’an tidak merinci tentang penciptaan alam timbullah ijtihad di kalangan para filosof  Islam tentang penciptaan alam. Menurut al-farabi dan Ibn Sina, Tuhan menciptakan alam ini dari sesuatu yang telah ada, bukan dari ketidakadaan, melalui pancaran (al-faid) dari Tuhan. Unsur ini (pancaran) bersifat qadim karena ia diciptakan oleh Tuhan sejak qidam. Dengan demikian, alam menurut ijtihad mereka adalah qadim ditinjau dari segi unsurnya. Menciptakan sesuatu dari ketidakadaan menurut filsafat adalah mustahil. Sedangkan menurut ijtihad al-Ghazali, Tuhan itu Maha Kuasa dan dapat saja menciptakan alam ini dari ketiadaan, dan memang alam ini diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan, dan bukan melalui pancaran. Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa karena unsur itu tidak qadim, maka alam pun bukan qadim, tetapi hadis (baru). Adapun Ibn Rusyd memperkuat ijtihad golongan al-Farabi dengan mengutip dua ayat Al-Qur’an ;” dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam 6 dan tahta-Nya (pada waktu itu) berada di atas air (Hud, 11:7)________________________________________________
_________________________________________________________________________
dan ayat “Kemudian Iapun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap” (Hamim, 41:11)___________________________________________________________________
Ibn Rusyd berijtihad, kedua ayat itu menjelaskan bahwa sebelum bumi dan langit diciptakan oleh Tuhan, air dan uap itu telah ada. Dari kedua unsur inilah Tuhan menciptakan alam. Kedua ayat di atas tidak mendukung pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa alam diciptakan dari ketidakadaan, dalam arti bahwa sebelum bumi dan langit diciptakan tak ada sesuatupun selain Tuhan.

Kunci Dinamika Islam

         Ajaran Islam, selain Al-Qur’an dan hadis, yang dianut oleh pemeluknya ialah hasil ijtihad para Sahabat Nabi dan para ulama, baik ajaran dalam bidang akidah, politik, filsafat, fikih, dan lain-lain sejak timbulnya ijtihad ratusan tahun yang lalu . Dengan demikian dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran:
1)     Ajaran yang bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah, Yang berada dalam kelompok ini adalah ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis mutawatir.
2)    Ajaran yang tidak bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Yang berada dalam kelompok ini adalah ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama. Dalam ajaran Islam, yang makshum (dalam arti terpelihara dari kesalahan) hanyalah Nabi Muhammad. Karena kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif.
         Berdasarkan kenyataan ini dapat dikatakan bahwa ijtihad merupakan sumber ketiga hukum Islam. Hal ini sesuai dengan sebuah hadis :”Nabi Muhammad bertanya kepada Mu’adz ibn jabal tentang bagaimana sikapnya bila ia menghadapi suatu masalah yang penyelesaian atas masalah itu tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis, dan Ibn jabal menjawab bahwa ia akan melakukan ijtihad. Jawaban Mu’adz ibn Jabal tersebut diterima Nabi dengan lega.


 

[1] Harun Nasution, Ijtihad,Sumber Ketiga Ajaran Islam, Mizan, Bandung, 1998, hal. 108
[2] Majnu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, Kitab al-Tashawwuf, Bairut, Dar al-‘Arabiyyah, jilid II, hal 18
[3] Ibid, hal 14
[4] Dikutip dalam Harun nasution, op.cit, hal 109
[5] Baca Harun Nasution, Teologi Islam