Sabtu, 06 November 2010

MUSIBAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN


Al-Qur’an surat al-Baqarah, 2:155 menyatakan :”Sungguh, Kami pasti akan terus menerus menguji kamu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar”.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa hakikat hidup di dunia, antara lain ditandai oleh keniscayaan adanya cobaan yang beraneka ragam. Ujian yang diberikan Allah kadarnya sedikit bila dibandingkan dengan potensi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Ia hanya sedikit, sehingga setiap yang diuji akan mampu memikulnya jika ia menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah itu.

Ujian yang akan terjadi yang diinformasikan Allah itu adalah nikmat besar tersendiri, karena dengan mengetahuinya manusia dapat mempersiapkan diri menghadapi aneka ujian itu. Yang buruk adalah kegagalan menghadapi ujian. Allah tidak menjelaskan kapan dan dalam situasi apa ia akan terjadi.
Bentuk ujian itu adalah sedikit dari rasa takut, yakni keresahan hati menyangkut sesuatu yang buruk, atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang diduga akan terjadi. Sedikit rasa lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Buah-buahan bisa dalam arti sebenarnya maupun buah-buahan dalam arti buah dari apa yang dicita-citakan. Muhammad Rasyid Rida menambahkan bahwa semata-mata menamakan diri beriman tidak berimplikasi secara langsung kepada keluasan rizki, hilangnya rasa takut dan kesedihan, serta kekuasaan yang kokoh. Semua itu berlangsung sesuai dengan sunnatullah dalam penciptaan, sebagaimana halnya sunnah dalam penciptaan adalah terjadinya musibah berdasarkan sebab-sebab yang mengantar terjadinya secara signifikan.

Dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 156-157 Allah menegaskan bahwa “Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kami akan kembali kepadaNya’. Mereka itulah yang mendapat banyak keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Maksud perkataan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” ketika ditimpa musibah bukan sekedar pernyataan yang dihafal dan dilafalkan tanpa penghayatan makna, tetapi maksudnya adalah penghayatan atas makna-maknanya, antara lain mereka termasuk makhluk Allah, milik Allah, dan kepadaNya kembali. Di tangan Allah kekuasaan atas segala sesuatu, dan Ia tidak berbuat kecuali sesuai dengan ilmu dan hikmah, dan sesuai dengan aturan yang digariskan, yang dikenal dengan sunnah atau sunnatullah. Kehendak Allah pada dasarnya tercermin pada hukum-hukum alam yang diciptakanNya. Bila seseorang tidak menyesuaikan diri dengan kehendakNya yang tercermin dalam hukum-hukum alam itu, dia pasti mengalami kesulitan, dia pasti mengalami bencana baik pada dirinya maupun lingkungannya. Bencana adalah kehendakNya juga karena Dia yang menciptakan hukum-hukumnya.

Yang mengucapkan kalimat “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” dengan menghayati makna-maknanya akan mendapat keberkatan yang sempurna, banyak dan beraneka ragam, seperti pengampunan, pujian, dan ganti yang lebih baik. Juga dapat rahmat dan petunjuk, yaitu petunjuk mengatasi kesulitan dan kesedihannya, dan petunjuk menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Dalam Al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 78-79 Allah berfirman :”Dimana saja kamu berada kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka kebaikan mereka mengatakan, ‘ini dari sisi Allah’, dan kalau mereka ditimpa suatu bencana, mereka mengatakan ‘ini dari engkau (Muhammad). Katakanlah ‘semuanya dari sisi Allah’, maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan, apa saja nikmat yang engkau peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”.

Penegasan Allah dalam ayat diatas bahwa semuanya (baik dan buruk) dari sisiNya dipahami dalam arti sesuai dengan ketentuan sunnatullah dan takdirNya, yakni hukum-hukum alam dan kemasyarakatan yang ditetapkannya berlaku untuk semua pihak, dan semua baik, tidak ada satu sisipun yang buruk. Kalau ada yang menilainya buruk, maka itu hanya bagi perorangan atau kelompok dan bersifat sementara, tetapi jika dilihat secara menyeluruh, maka ia baik.

Penyakit yang diderita seseorang adalah buruk menurut penilaian yang bersangkutan atau orang-orang tertentu, tetapi baik buat banyak orang, karena dengan demikian orang akan mengetahui nilai kesehatan. Bahkan sakit itu juga dapat menjadi baik bagi si sakit, karena dengan demikian ia mendapat pelajaran agar menghindari sebabnya, atau karena dengan penyakit itu- jika ia bersabar- ia memperoleh ganjaran atau pengampunan dosa. Demikian semua sunnatullah dan hukum-hukum yang ditetapkan Allah, walaupun buruk bagi seseorang atau satu kelompok, tetapi ia baik untuk banyak pihak, sehingga semua yang datang dari Allah adalah baik.

Setiap peristiwa yang terjadi melibatkan tiga unsur berikut:
1.ada yang menjadikannya
2.ada juga sebab-sebab yang mengantar kejadiannya
3.ada tanda-tanda dan dampak-dampaknya
Tiga hal itu tidak mungkin luput dari suatu peristiwa, disengaja atau tidak, terpaksa atau atas kehendak seseorang. Allah yang menentukan manfaat dan madlarat satu peristiwa berdasar pengetahuan dan takdir/pengaturanNya, serta Dia pula yang menciptakan sebab-sebabnya. Selanjutnya segala sesuatu diciptakan Allah dan diciptakanNya pula sebab-sebab yang memudahkan kelangsungan hidup dan pemanfaatannya. Allah juga telah menganugerahi manusia potensi untuk mengetahui manfaat dan madlarat banyak hal sehingga mereka dapat mengetahuinya, baik melalui penggunaan nalar, pengalaman, intuisi, dan atau penjelasan wahyu.

Kejahatan itu walaupun Allah juga yang menjadikannya serta menjadikan dan menetapkan sebab-sebabnya, tetapi peranan manusia dalam hal ini tidak kecil. Karena pada umumnya kejahatan itu menimpa manusia akibat ulahnya sendiri karena kebodohan, pandangan pendek, dan pengaruh hawa nafsunya. Sehingga pada umumnya kejahatan yang menimpa manusia adalah akibat perbuatannya sendiri, baik langsung maupun tidak.

Hukum-hukum alam dan kemasyarakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan buruk untuk setiap gerak dan tindakan telah ditetapkan Allah. Melalui hukum-hukum tersebut manusia diberi kemampuan memilih dan memilah, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan laranganNya menghendaki bahkan menganjurkan agar manusia meraih kebaikan dan nikmatNya. Karena itu ditegaskanNya bahwa “apa saja nikmat yang engkau peroleh wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah yakni Dia yang mewujudkan anugerahNya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selainmu, maka bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri”. Penegasan ini berbicara dari sisi manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat, dimana ia diberi kemampuan memilah dan memilih dan masing-masing mendapatkan hasil pilihannya sesuai sunnatullah dan takdirNya.




Rujukan
 
1.Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar. Juz IV, hal.192; 225-6; juz V hal.268.
2.Muhammad Husain Thabathaba’i. Tafsir al-Mizan, juz V, hal.14; juz XVII, hal.59; juz XIX
   hal. 173-4.
3.Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah. Juz I hal. 341-344; juz II hal. 493-497.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar