Minggu, 10 Oktober 2010

PERAN DAN TANGGUNGJAWAB ULAMA, ZU’AMA DAN CENDEKIA DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT BERKEADILAN DAN SEJAHTERA

I.         PENGERTIAN ULAMA
Kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘alim, yang terambil dari akar kata ‘alima yang berarti mengetahui secara jelas. Kata ulama ditemukan dua kali dalam Al-Qur’an. Pertama, dalam Al-Qur’an surat al-Syu’ara’, 26:197 “Apakah tidak cukup menjadi bukti lagi bagi mereka (yang meragukan Al-Qur’an) bahwa para ulama bani Israil mengetahuinya (Al-Qur’an)?”. Ayat ini didahului oleh firman-Nya surat al-Syu’ara’, 26:192-195 “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar diturunkan Tuhan Pemelihara semesta alam. Ia dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”
Berdasarkan konteks ayat surat al-Syu’ara’, 26:192-197, maka ayat 197 di atas diterjemahkan sebagaimana terbaca di atas. Dan atas dasar itu pula, kita dapat berkata bahwa kata “ulama” digunakan oleh Al-Qur’an bukan hanya terhadap orang-orang muslim, tetapi disandangkan juga kepada siapa pun yang memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an.[1]
Kata ulama yang kedua ditemukan dalam surat Fathir, 35:28 “Sesungguhnya yang takut (bercampur kagum) kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. Ayat tersebut didahului oleh ajakan Al-Qur’an untuk memperhatikan bagaimana Allah menurunkan air dari langit, kemudian melalui hujan yang menyirami bumi itu, Allah menumbuhkan buah-buahan yang beraneka ragam. Demikian juga gunung-gunung, ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada pula yang hitam pekat (Q.S. al-Syu’ara,27). Demikian pula manusia, binatang-binatang melata, dan binatang ternak bermacam-macam warna dan jenisnya (Q.S. al-Syu’ara,28).
Ada dua catatan penting yang perlu digarisbawahi dari ayat di atas, yaitu : (1) penekanan ayat pada keanekaragaman serta perbedaan-perbedaan yang terhampar di bumi. Penekanan ini diingatkan oleh Allah sehubungan dengan keanekaragaman tanggapan manusia terhadap para nabi dan kitab-kitab suci yang diturunkan Allah. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya pada ayat 25 surat Fathir. Ini mengandung arti bahwa keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya.[2] (2) Mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan sosial, dinamai oleh Al-Qur’an dengan ulama. Hanya saja, seperti pernyataannya di atas, pengetahuan tersebut menghasilkan rasa khassyah, yaitu rasa takut yang disertai penghormatan, yang lahir akibat pengetahuan tentang objek. Pernyataan Al-Qur’an bahwa yang memiliki sifat tersebut hanyalah ulama, mengandung arti bahwa yang tidak memilikinya bukanlah ulama.
Ayat di atas berbicara tentang fenomena alam dan sosial. Ini berarti bahwa para ilmuwan sosial dan alam dituntut agar mewarnai ilmu mereka dengan nilai spiritual, dan agar dalam penerapannya selalu mengindahkan nilai-nilai tersebut. Bahkan tidak meleset jika dikatakan bahwa ayat ini berbicara tentang kesatuan apa yang dinamai dengan ilmu agama dan ilmu umum. Sebab puncak ilmu agama adalah pengetahuan tentang Allah, sedangkan ilmuwan sosial dan alam memiliki rasa takut dan kagum kepada Allah yang lahir dari pengetahuan mereka tentang fenomena alam dan sosial serta pengetahuan mereka tentang Allah.
Dari gabungan ayat 197 surat al-Syu’ara’ dan ayat 28 surat Fathir yang menggunakan kata ulama di atas, dapat dirumuskan bahwa siapapun yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang fenomena alam dan sosial, dan atau kandungan kitab suci, asal memiliki khassyah (rasa takut dan kagum kepada Allah), dia layak dimasukkan dalam kelompok yang dinamai Al-Qur’an dengan ulama.

II.      PERAN DAN TANGGUNGJAWAB ULAMA
Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa “para ulama adalah ahli waris para nabi”. Dalam konteks ini, QS. Fathir 35:32 menegaskan bahwa “Kemudian Kami wariskan kitab suci kepada orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba Kami; Maka ada diantara mereka yang menganiaya diri mereka sendiri, dan ada yang pertengahan, dan ada juga yang bergegas melakukan kebajikan”.
Kitab suci yang diwarisi oleh ulama ummat Muhammad berbicara tentang berbagai persoalan yang mencakup materi bahasan berbagai disiplin ilmu agama. Oleh karena itu, disitu bertemu cakupan makna kata “ulama” seperti yang dikemukakan di atas dengan cakupan kandungan kitab suci Al-Qur’an. Secara garis besar ada empat (4) tugas yang harus dilaksanakan oleh para ulama dalam kedudukan mereka sebagai ahli waris para nabi, yaitu:
1.      Menyampaikan ajaran kitab suci (tabligh), karena Rasulullah diperintahkan dalam QS. al-Maidah, 5:67 “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak engkau lakukan, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya”. Ini menuntut dari  ahli waris Nabi saw. untuk menyampaikan ajaran secara baik dan bijaksana, tidak merasa takut atau rikuh, tetapi selalu siap menanggung resiko.
2.      Menjelaskan kandungan kitab suci, sejalan dengan firman-Nya dalam QS. al-Nahl, 16:44 “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka”. Ini menuntut para ulama untuk terus menerus mengajarkan kandungan kitab suci, sekaligus terus-menerus mempelajarinya (QS. Fathir, 35:29), atau dalam istilah Al-Qur’an menjadi rabbaniyyin (QS. ‘Ali Imran, 3:79)
3.      Memberi putusan dan solusi terhadap problem dan perselisihan masyarakat, sejalan dengan firman-Nya QS. al-Baqarah, 2 :213 “Dan Dia (Allah) menurunkan kepada mereka (para nabi) kitab suci dengan haq agar mereka memutuskan antara manusia apa yang mereka perselisihkan”. Solusi yang diberikan tidak boleh mengawang-awang di angkasa, dalam arti hanya indah terdengar, tetapi harus membumi, dalam arti dapat dipahami dan diterapkan.
4.      Memberi contoh sosialisasi dan keteladanan, itu sebabnya Nabi dijadikan Allah sebagai teladan, sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-Ahzab, 33:21 “Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”. Akan tetapi, tidak semua yang mewarisi kitab suci atau dianugerahi ayat-ayat Allah, mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, sebagaimana diisyaratkan oleh QS. Fathir, 35:32.

III.   KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” keadilan sosial didefinisikan sebagai “kerjasama untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh berkembang sesuai kemampuan masing-masing”. Keadilan sosial seperti terlihat dari definisi itu, bukan berarti mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi.
Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan kemampuan para rasul pun demikian (QS. al-Baqarah, 2:253). Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya perbedaan itu harus mengantarkan kepada kerjasama yang menguntungkan semua pihak (QS. al-Hujurat, 49:13). Setiap anggota masyarakat dituntut untuk berlomba-lomba dalam kebajikan / fastabiqul khairat (QS. al-Baqarah, 2:148). Setiap perlombaan menjanjikan hadiah. Disini hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi tidak adil juga bila setelah lomba dengan prestasi yang berbeda-beda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama menolak hal itu (QS. al-Nisa’, 4:95)
Jika diantara anggota masyarakat ada yang tidak dapat meraih prestasi atau memenuhi kebutuhan pokonya, masyarakat yang berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar mereka pun mampu dan dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan semacam inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial (M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1996, hal.126)
Kesejahteraan sosial yang didambakan oleh Al-Qur’an tercermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, Hawa, sebelum mereka turun ke bumi. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang sejahtera. Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam QS. Thaha, 20:117-119 “Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan disini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa dahaga maupun kepanasan”. Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan, semuanya telah terpenuhi disana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial.
Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga hidup dalam damai, harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada suatu pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia (QS. al-Waqi’ah, 56:25-26).
Rumusan kesejahteraan dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman. Untuk masa kini, dapat dikatakan bahwa yang sejahtera adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak keluarga, bahkan lingkungan. (Quraish Shihab, Wawasan, hal.128)


[1] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, Bandung, Mizan, 2000, hal.36
[2] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, hal.37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar