Rabu, 06 Oktober 2010

SUNNATULLAH DALAM AL-QUR'AN

Sunnatullah dari segi bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah antara lain berarti "kebiasaan". Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Dalam Al-Qur'an kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatuna, dan sunnatul Awwalin, kesemuanya berbicara dalam konteks kemasyarakatan. Perlu diingat bahwa apa yang dinamai hukum-hukum alam pun adalah kebiasaan-kebiasaan yang dialami manusia, dan dari ikhtisar pukul rata statistik tentang kebiasaan-kebiasaan itu, para pakar merumuskan hukum-hukum alam. Kebiasaan itu dinyatakan Allah sebagai tidak beralih (al-Isra, 17:77) dan tidak pula berubah (al-Fath, 48:23), dan berganti juga tidak (al-Ahzab, 33:62). Karena sifatnya demikian, maka ia dapat dinamai "hukum-hukum kemasyarakatan" atau ketetapan-ketetapan Allah menyangkut situasi masyarakat.
Menurut beberapa ayat Al-Qur'an, seperti al-Isra, 17:77; al-Fath, 48:23; al-Ahzab, 33:62; ada keniscayaan bagi sunnatullah (hukum-hukum kemasyarakatan) itu, tidak ubahnya dengan hukum-hukum alam atau yang berkaitan dengan materi. Hukum-hukum alam sebagaimana hukum kemasyarakatan bersifat umum dan pasti, tidak satupun di negeri manapun orang dapat terbebaskan dari sanksi bila melanggarnya. Hukum-hukum itu tidak memperingatkan siapa yang melanggarnya dan sanksinya pun membisu sebagaimana membisunya hukum itu sendiri. Masyarakat dan jenis manusia yang tidak membedakan antara yang haram dan yang halal akan terbentur oleh malapetaka, ketercabikan, dan kematian. Ini semata-mata adalah sanksi otomatis, karena kepunahan adalah akhir dari semua mereka yang melanggar hukum alam/ kemasyarakatan.
Al-Qur'an berbicara tentang sunnatullah dalam konteks perubahan sosial, yaitu al-Anfal, 8:53; dan al-Ra'd, 13:11. kedua ayat diatas berbicara tentang perubahan, ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedang ayat kedua yang menggunakan kata "ma" (apa) berbicara tentang perubahan apapun, baik dari nikmat (positif) menuju niqmah (negatif, murka Ilahi) maupun dari negatif ke positif.
Beberapa hal perlu digarisbawahi menyangkut kedua ayat di atas yaitu :
1.     Ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Ini dipahami dari penggunaan kata "qaumin" (kaum/masyarakat) pada kedua ayat di atas. Selanjutnya dari sana dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Memang boleh saja perubahan bermula dari seorang yang ketika ia melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya, diterima dan menggelinding dalam masyarakat. Disini ia bermula dari pribadi dan berakhir pada masyarakat. Pola pikir dan sikap perorangan itu "menular" kepada masyarakat luas, sedikit demi sedikit, kemudian "mewabah" kepada masyarakat luas.
2.    Penggunaan kata "qaum" juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslim atau satu suku, ras, dan agama tertentu; tetapi berlaku umum, kapan dan dimanapun mereka berada.
3.    Karena ayat tersebut berbicara tentang kaum, maka ini berarti bahwa sunnatullah yang dibicarakan berkaitan dengan kehidupan duniawi, bukan ukhrawi. Hal ini mengantar kita untuk berkata bahwa ada dua macam pertanggungjawaban, yaitu pertama bersifat pribadi (Maryam, 19:95), dan yang kedua tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif (karena itu Al-Qur'an menggarisbawahi "Hindarilah cobaan yang tidak hanya menimpa secara khusus orang-orang yang berlaku aniaya diantara kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah sangat pedih pembalasannya". Al-Anfal, 8:25). Rasul juga pernah ditanya "apakah kita akan binasa padahal orang-orang saleh ada di tengah- tengah kita?" Beliau menjawab singkat "Na'am idza katsura al-khubs" (ya, kalau kebejatan telah merajalela).
4.    Kedua ayat diatas berbicara tentang dua pelaku perubahan yaitu pertama Allah, yang mengubah sisi luar/ lahiriyah masyarakat. Kedua adalah masyarakat/ manusia, yang melakukan perubahan pada sisi dalamnya (ma bi anfusihim ? apa yang terdapat dalam diri mereka). Perubahan pada "qaum" menyangkut banyak hal, seperti kekayaan, kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kemuliaan dan kehinaan, persatuan dan perpecahan, dll yang berkaitan dengan masyarakat secara umum, bukan secara individu.
5.    Perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut "sisi dalam mereka". Tanpa itu mustahil terjadi perubahan sosial.

1 komentar:

  1. Kajian ini amat bermanfaat, saya sedikit menambahkan bahwa pertanggungjawaban kolektif hanya ada di dunia saja, sedangkan di akhirat semua bentuk pertanggungjawaban bersifat individual, syukran

    BalasHapus