Jumat, 08 Oktober 2010

IRADAH ALLAH DALAM AL-QUR’AN

1.Tafsir QS. Al-An’am , 6:39 : “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, dan bisu, berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya) niscaya disesatkannya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” Maksudnya barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kesesatannya, niscaya disesatkannya dengan membiarkan dia menelusuri jalan yang dikehendaki nafsunya. Dan barangsiapa yang Dia kehendaki untuk diberi petunjuk, niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.
            Ayat ini menginformasikan bahwa Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki. Penyesatan ini terjadi karena mereka enggan menerima petunjuk, dan berkeras menolak bimbingan. Memang tidak jarang orang yang sedang berada pada awal tahap kesesatan, yang karena keras kepala enggan meninggalkan kesesatannya, hingga akhirnya kesesatan itu bertambah dan semakin bertambah, sampai akhirnya ia terjerumus masuk ke jurang kesesatan yang dalam. Demikian juga sebaliknya, boleh jadi seseorang pada mulanya belum lagi mencapai tingkat memadai dalam kebajikan, tetapi bila hatinya terbuka, maka sedikit demi sedikit kebajikan dan ketakwaannya akan meningkat hingga akhirnya ia termasuk kelompok orang-orang yang dekat dengan Allah. Ini adalah ketetapan Allah yang bersifat umum dan menyentuh semua manusia. Demikianlah Allah menyesatkan dan memberi petunjuk sesuai dengan kehendak dan sikap masing-masing manusia. Ini yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya : “hendaklah kalian selalu bersikap benar, karena sesungguhnya seseorang terus-menerus bersikap benar sampai akhirnya Allah menetapkannya sebagai seorang shiddiq (yang sikap, ucapan, dan tindakannya selalu benar), dan hindarilah kebohongan karena sesungguhnya seseorang terus menerus berbohong sampai akhirnya ia ditetapkan oleh Allah sebagai pembohong.”
            2.Tafsir QS. Al-An’am, 6:125 “Maka barangsiapa yang Allah menghendaki untuk memberinya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki untuk disesatkannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sangat sempit lagi sesak, bagaikan dia sedang mendaki di langit. Begitulah Allah menimpakan siksa atas orang-orang yang tidak beriman.”
            Ayat ini menjelaskan tentang kehendak Allah, ketentuan dan peranan-Nya yang berkaitan dengan keislaman serta ketaatan seseorang mengikuti Rasul, dan kesesatan serta keengganan orang lain mematuhi Rasul. Allah berfirman : “Maka jika demikian itu halnya, barangsiapa yang Allah menghendaki untuk memberinya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam, yaitu dengan mencampakkan cahaya iman ke hatinya setelah ia menampakkan keinginan untuk beriman dan melangkahkan kaki ke arah sana, dan atau mendukung keinginannya untuk percaya dengan jalan mengukuhkan pikiran dan hatinya, sehingga hilang keraguan yang menyelimutinya. Dan barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah untuk disesatkannya, yakni menetap dalam kesesatannya, karena kebejatan hatinya, niscaya ia menolak ajakan iman, sehingga Allah menjadikan dadanya sangat sempit tidak mampu menampung kebajikan dan kebenaran, bahkan dadanya sesak, sehingga tidak ada kebaikan yang bersedia mendatanginya. Keadaannya ketika itu bagaikan ia sedang memaksakan diri mendaki di langit, yakni di angkasa, atau ke angkasa.”
            Ayat ini dijadikan juga oleh sebagian orang sebagai bukti bahwa keimanan dan kesesatan bersumber dari Allah SWT. Pendapat ini benar, jika yang dimaksud adalah adanya keterlibatan, bukan dalam arti bahwa Dia memaksakan kehendak-Nya, tanpa melibatkan kehendak dan keinginan manusia. Ayat ini dan semacamnya hanya berbicara tentang apa yang dilakukan Allah bagi keislaman dan kesesatan seseorang. Tetapi tidak ada dalam teksnya sedikitpun isyarat yang menunjukkan bahwa Allah sendiri yang melakukan hal tersebut. Apa yang dibicarakan ayat ini dalam konteks keislaman atau penolakannya, terbatas pada perluasan dan penyempitan dada, bukan menyangkut keinginan dan dorongan yang terdapat dalam diri manusia.  Keinginan dan dorongan itu sama sekali tidak diuraikan disini. Ini dapat dianalogikan dengan seorang tukang, katakanlah penjahit, yang menjelaskan bagaimana caranya dia menjahit satu pakaian dengan model tertentu. Ia sekedar menjelaskan caranya, tidak membicarakan siapa yang menciptakan model itu dan atas inisiatif siapa dia menjahitnya demikian. Dari sumber lain diketahui bahwa model dan keinginan itu datang dari pihak lain, dalam hal ini adalah pemakainya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar