Selasa, 25 Januari 2011

MENANGGULANGI KEJAHATAN DAN KEMAKSIYATAN

              Al-Quran adalah kitab petunjuk bagi manusia tentang kehidupan dunia dan akhirat. Petunjuk Al-Quran meliputi seluruh aspek kehidupan manusia secara global, diantaranya tentang bagaimana seharusnya manusia menyikapi kejahatan dan kemaksiyatan. Jika petunjuk tersebut diamalkan maka kehidupan manusia akan menjadi baik dan sejahtera. Namun jika dilanggar maka pasti akan membawa berbagai bentuk kesengsaraan dalam kehidupan manusia . Petunjuk al-Quran menyangkut penanggulangan kejahatan dan kemaksiyatan, antara lain sebagai berikut:
Artinya : Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang yang beruntung.
Ayat diatas menyuruh kepada segolongan ummat untuk melakukan dakwah, yakni mengajak orang lain secara terus menerus tanpa bosan dan lelah kepada kebajikan, yaitu petunjuk-petunjuk Illahi; menyuruh masyarakat kepada yang ma’ruf, yaitu nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik oleh masyarakat selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Illahiyah; dan mencegah mereka dari yang munkar, yaitu yang dinilai buruk lagi diingkari oleh akal sehat masyarakat. Mereka yang mengindahkan tuntunan ini dan yang sungguh tinggi lagi jauh martabat kedudukannya, itulah orang-orang yang beruntung, mendapatkan apa yang mereka dambakan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sayyid Quthub memahami keharusan adanya dua kelompok dalam masyarakat Islam. Kelompok pertama yang bertugas mengajak dan kelompok dua yang bertugas memerintah dan melarang. Kelompok kedua ini tentulah memiliki kekuasaan di bumi. Ajaran Illahi di bumi ini bukan sekedar nasehat, petunjuk, dan penjelasan. Ini adalah salah satu sisi, sedang sisinya yang kedua adalah melaksanakan kekuasaan memerintah dan melarang, agar amar ma’ruf dapat terwujud, dan kemunkaran dapat sirna.
          Al-Ma’ruf yang merupakan kesepakatan umum masyarakat sewajarnya diperintahkan, dan al-Munkar seharusnya dicegah, baik yang memerintahkan dan mencegah itu pemilik kekuasaan maupun bukan. Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dll bersabda,” Siapapun diantara kamu melihat kemunkaran, maka hendaklah dia mengubahnya (menjadikannya ma’ruf) dengan tangan/kekuasaannya; kalau dia tidak mampu (tidak memiliki kekuasaan) maka dengan lidah/ucapannya, kalau (inipun) dia tidak mampu maka dengan hatinya,dan itulah selemah-lemah iman”. Perintah ini mencakup melarang kemunkaran sebelum terjadinya, dan merubahnya setelah terjadinya  perbuatan tersebut.
Artinya: Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.
Ayat ini menjelaskan salah satu bentuk kedurhakaan orang-orang Bani Israil, khususnya ulama cerdik dan pandai mereka. Ayat ini menjelaskan kenapa Allah mengutuk keseluruhan ummat Yahudi, yaitu mereka senantiasa dan sejak dahulu hingga kini tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat, yakni tidak saling melarang agar tidak saling mengulangi perbuatan munkar yang diperbuat oleh sebagian mereka. Mereka terus-menerus dan tidak henti-hentinya melakukan kemunkaran. Sungguh amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Ayat ini merupakan salah satu dasar menyangkut kewajiban melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Melarang munkar merupakan benteng agama, mempertahankan moral yang tinggi dan nilai keutamaan manusia. Jika nahi munkar ditinggalkan, maka orang fasiq makin berani menampakkan kefasikan dan kejahatan mereka. Jika masyarakat melihat dengan mata kepala sendiri kemunkaran itu dan mendengar dengan telinganya, maka sifat buruk kemunkaran itu akan hilang dari diri mereka, sehingga makin mendorong banyak orang untuk ikut-ikutan melakukannya.
          Seperti itulah keadaan dan kebiasaan Bani Israil, terus-menerus dalam kemunkaran, dan tidak mau menghentikannya. Ayat ini disampaikan kepada Rasulullah dan orang-orang beriman agar dapat dijadikan sebagai pelajaran, sehingga tidak melakukan sebagaimana yang mereka lakukan, yang pada akhirnya ditimpa laknat dan murka Allah. Siapapun yang melakukan perbuatan serupa, pasti akan ditimpa akibat yang sama. Ini merupakan sunnatullah yang berjalan konsisten kepada makhluk-Nya. Oleh sebab itu ummat Islam harus berani melakukan koreksi dan introspeksi kepada diri mereka sendiri menyangkut berbagai keburukan yang menimpa.
Artinya : Dan hindarilah siksa yang sekali-kali tidak menimpa secara khusus orang-orang yang dzalim diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.
Sendi-sendi bangunan masyarakat akan melemah jika kontrol sosial melemah. Akibat kesalahan tidak selalu hanya menimpa yang bersalah. Tuntunan Allah dan Rasul-Nya telah disyariatkan sedemikian rupa, oleh Dia Yang Maha Mengetahui Kemaslahatan, kebutuhan sekaligus kecenderungan mereka. Apabila ada yang melanggarnya maka akan timbul kekacauan, karena yang melanggar telah melakukan sesuatu yang merugikan pihak lain. Nah, ketika itu akan terjadi kekacauan, dan akan lahir instabilitas yang mengakibatkan semua anggota masyarakat –yang taat maupun yang durhaka- ditimpa krisis. Demikian pengalaman ummat manusia sejak dahulu hingga kini, karena itu ayat ini berpesan,” buatlah perisai antara diri anda dengan ujian dan bencana dengan jalan memelihara hubungan harmonis dengan-Nya. Laksanakanlah tuntunan-Nya dan ajarkan pula orang lain melakukan kebaikan dan menjauhi kemunkaran, karena kalau tidak kamu semua akan ditimpa bencana. Dalam konteks ini, Rasul memperingatkan, “tidak satu masyarakatpun yang melakukan kedurhakaan,sedang ada anggotanya yang mampu menegur/menghalangi mereka, tetapi dia tidak melakukannya, kecuali dekat Allah akan segera menjatuhkan bencana yang menyeluruh atas mereka”. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashhab al-sunan.
          Apabila kemunkaran telah meluas, dan tidak ada yang tampil meluruskannya, maka itu berarti masyarakat tidak lagi terusik perasaannya dan gairah keagamaannya akibat kemunkaran itu. Siapa yang sikapnya seperti itu dapat dinilai merestui kemunkaran, dan ini menjadikan yang bersangkutan terlibat secara tidak langsung dalam kemunkaran itu, sehingga iapun berdosa dan wajar mendapat sanksi berupa siksa lllahi. Keterusikan perasaan itulah tingkat terendah dari bentuk penolakan terhadap kemunkaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar